Oleh : Nurhidayat Hi. Gani.
Ketua Komisariat LMND UMMU/
Ketua HMJ Ilmu Politik UMMU.

Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) tahun 2020 kini menjadi wacana hangat di media social (facebook, twitter, instagram, dan juga whatsAapp). Jika dibandingkan dengan wacana covid-19, mungkin wacana pilkada menjadi urutan paling di atas (khususnya publik Maluku utara) bahkan sudah menututpi wacana covid yang kini menjadi agenda prioritas pemerintah.

Pasalnya, waktu perhitungan suara Pilkada sudah tidak lama lagi, sehingga proses konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk mendapatkan dukungan Partai politik yang dilakukan oleh bakal calon dan tim pemenangnya agar supaya memenuhi syarat pencalonan, ini menjadi suatu wacana hangat dari pendukung dan simpatisan politik untuk mempublikasikan kekuatan politik kandidatnya di media social dengan tujuan menarik simpati public.

Mulai dari progress kandidat melobi partai, pembangunan posko pemenangan, silaturrahmi kandidat di kalangan akar rumput, sampai pada penerbitan biografi figur melalui media social. Dari proses promosi kandidat, media social menjadi instrument utama bagi tim pemenang bakal calon untuk mempengaruhi perilaku politik public.

Proses promosi ini, sering menuai perdebatan hangat antar tim/pendukung bakal calon yang satu dengan tim/pendukung bakal calon lainnya dengan prespektif politik yang berbeda-beda hingga melahirkan sebuah dinamika politik yang baru.

Akan tetapi ada kejadian-kejadian tertentu yang dianggap tidak etis akibat dari pada prespsi-presepsi liar yang ditulis melalui media social dengan tujuan menjatuhkan satu sama lain tidak berdasarkan realitas yang ada (Hoax), sehingga berdampak pada nilai-nilai demokrasi yang di anut oleh bangsa kita (Indonesia).

Kejadian seperti ini akhirnya terkesan buruk terhadap demokrasi politik kita, bahwa politik selalu saja menghalalkan segala cara.

Pemikiran politik seperti ini sudah ditulis oleh salah seorang filsuf politik moderen asal Italy; Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya The Prince (sang pangeran) yang mencetuskan sebuah pemikiran politik moderen yang menghalalkan segaala cara dalam politik, dengan tujuan mempertahankan kekuasaan dan juga merebut kekuasaan.

Pemikiran politik ini juga di pakai oleh sang dictator jerman seperti Adolf Hitler dan pengikut Nazi lainnya, juga Vladmir Lenin di Unisoviet. Umumnya politik menghalalkan segala cara ini, masih terlihat kental di Indonesia, baik itu secara local, regional, maupun nasional.

Indikatornya dapat kita lihat kondisi dan situasi politik saat ini, dimana elite politik lebih cenderung memprioritaskan kepentingan individu dan kelompoknya (bukan umum) dalam setiap ajang kontestasi politik dengan dalil-dalil tertentu yang mengindikasikan ada penghalalan segala cara untuk kepentingan politiknya. Misalnya mengumbar janji-janji manis, membayar suara rakyat, mengkampanyekan politik identitas (suku,ras,agama) dan lain-lain yang di pandang secara etis dapat melanggar etika demokrasi politik bangsa demi kekuasaan.

Mengutip sebuah adagium dari Niccolo Machiavelli dalam buku pengantar filsafat Dr. Ali Maksum (Hal: 98). ‘’Walaupun negarawan merupakan penjaga moralitas tetapi ia diperbolehkan melanggar moralitas itu sendiri ketika dibutuhkan’’.

Dinamika demokrasi politik bangsa Indonesia sejak pertama kali diadakannya pemilihan umum pada tahun 1955 yang konon katanya sangat demokratis itu, sampai pada tahun 2019 kemarin, hemat penulis, masih terlihat minim dari proses bagaimana menciptakan pemillih yang rasional, atau pemilih yang memiliki kesadaran politik sendiri untuk menentukan figur yang layak di usung dan dipilih sesuai dengan perilaku politiknya sendiri.

Tetapi yang terjadi adalah menghasilkan pemilih pragmatis karena pengaruh praktik mony politik dan juga tawar menawar jabatatan strategis, sehingga sampai saat ini Negara maupun partai politik, yang juga memiliki fungsi memberikan kesadaran politik terhadap masyarakat, terlihat belum mampu menciptakan pemilih-pemilih yang rasional dan objektif.

Kampanye politik juga merupakan hal yang paling penting dalam setiap Pemilu dan Pilkada, atau yang biasa disebut politisi reaksioner sebagai ‘’pesta demokrasi’’ ini juga sebenarnya harus dijadikan sebagai momen pemberian edukasi tentang politik terhadap rakyat yang belum terlalu memahami persoalan-persoalan politik.

Agar simpati rakyat terhadap figur atau bakal calon bukan hanya saja visi dan misi yang ditawarkan, melainkan simpati itu muncul atas dasar kesadaran politik.

Sebab kesadaran politik sangat penting untuk dibutuhkan ketika membangun bangsa dan Negara, sebagaimana yang sering diperdebatkan pendiri bangsa kita, bahwa kesadaran politik rakyat adalah hal yang paling krusial untuk melakukan revolusi agar bangsa ini bisa dimerdekakan dari penjajahan kolonialis.

Sederhananya, untuk mencapai kedaulatan politik, terutama rakyat harus sadar secara politik, selanjutnya tidak boleh ada pembatasan atau pemaksaan yang coba mensabotase aktivitas ataupun sikap politik yang diambil oleh rakyat, prinsipnya asalkan aktivitas politik tersebut tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Untuk menstimulus pemikiran politik yang sehat, hak politik rakyat harus diberikan dan juga dihargai semaksimal mungkin dalam proses konsolidasi politik semasa Pilkada ketika rakyat menentukan pilihannya.

Sehingga tidak menimbulkan sentiment politik antar sesama yang berakibat pada konflik kekeluargaan. Persoalan seperti ini sering ditemukan di desa-desa, dimana tingkat kesadaran politik masih lemah namun dipaksakan untuk merespon isu-isu yang bersifat provokatif.

Isu provokatif bukan menjadi hal yang baru lagi, tapi sudah menjadi hal lumrah yang sering di publis oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mengamankan posisi politik figurnya juga menumbangkan posisi lawan politiknya, akhirnya berefek langsung terhadap rakyat yang juga selaku pemilih dan pendukung. Maka yang terjadi adalah perpecahan. Gaya politik semacam ini sudah diperkenalkan kolonialisme eropa ketika masuk melakukan penjajahan di Indonesia. Gaya politik ini biasa disebut dengan Dvide et impera (politik pecah belah).

Olehnya itu, kesadaran politik rakyat harus menjadi perhatian penuh partai politik, ormas, dan lain-lain dengan cara memberikan pendidikan politik. Agar supaya rakyat pun mampuh menilai mana isu yang layak direspon dan tidak layak direspon (provokatif dan bukan provokatif). Dengan kesadaran ini pula rakyat mampuh menepis yang namanya gaya politik identitas, mony politik, yang ujung-ujungnya merugikan rakyat itu sendiri.

Hemat penulis, polarisasi politik indonesia saat ini telah terkontaminasi dengan paham kapitalis liberal, suatu paham yang mengandalkan modal uang (bukan social) sebagai kekuatan politiknya untuk meraih kekuasaan.

Oleh sebab itu membuat dinamika perpolitikan di Indonesia bukan lagi bicara soal adu argument dan gagasan politik, melainkan adu modal (uang). Siapa yang memiliki modal banyak dia yang akan memenangkan pertarungan. Hal inilah yang kemudian membuat praktik mony politik berselencar mulus di setiap momen pilkada, juga mempengaruhi konstruk berfikir masyarakat sehingga menjadi pemilih yang pragmatis.

Atas dasar ini seharusnya Negara belajar dan melihat kembali lagi ke belakang, bagaimana proses pemilukada yang setiap kali dilakukan. Mulai dari jumlah anggaran yang dikeluarkan Negara pada saat pemilihan pemimpin baru, partisipasi politik masyarakat setiap kali pemilihan, dan lain sebagainya. Agar supaya setiap kali momen politik nasional rakyat merasa puas dan tidak dirugikan dari hasil pemilihan tersebut. Juga lebih meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap momen politik electoral.

Sebagai penutup, penulis memberikan obat penawar untuk menjawab problem-problem politik saat ini, bahwa kedewasaan berpolitik rakyat harus perlu ditingkatkan dengan melibatkan partai politik, organisasi kemahasiswaan, organisasi kepemudaan, yang bergerak dalam dunia politik untuk memberikan pendidikan politik semaksimal mungkin kepada masyarakat (terutama akar rumput) dengan tujuan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) yang sadar secara politik. Agar ketika problem social maupun politik yang terjadi, rakyat mampuh memposisikan dirinya untuk menanggapi persoalan-persoalan tersebut.

‘’Percuma kita keluarkan anggaran Negara yang begitu besar tapi tidak mampuh melahirkan suatu proses demokrasi politik yang baik. Demokrasi yang baik adalah demokrasi yang mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan di atas kepentingan yang lain’’. ***