Oleh: Kadarisman
(Pemerhati Sosial Politik Banua)

Hari ini, 9 Desember 2020 pilkada serentak di gelar. Secara nasional hajatan manifesto kekuasaan rakyat itu digelar di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Di Kalimantan Selatan diikuti oleh 7 kepesertaan pilkada.

Pilkada sendiri merupakan amanat konstitusi yang menjembatani kedaulatan rakyat sebagai pemilik tiket kekuasaan kepada siapa pemerintahan diserahkan dan dijalankan. Tidak heran kemudian suara rakyat menjadi perburuan dengan berbagai macam cara dan strategi.

Sebagai proses politik, pilkada memberikan peluang bagi rakyat menentukan nasib kebaikannya sendiri dalam berbangsa dan mebangun berkehidupan masa depan. Itulah salah satu alasan kenapa politik uang merupakan sebuah kejahatan bagi demokrasi. Memilih calon berdasarkan “suap” sejatinya adalah penghianatan pada tujuan memperbaiki tatanan kehidupan bersama yang lebih baik.

Kontestasi pilkada sejatinya sebuah ikhtiar memenangkan hajat rakyat. Prosesi pemilihan kemudian haruslah menjadi kemenangan rakyat seutuhnya, bukan kemenangan segelintir orang apalagi kemenangan sepasang kontestan. Karena itu wujud kemenangan rakyat menjadi penting memaknai proses pilkada dari landasan filosufis, hulu hingga hilirnya sebagai sebuah integritas politik yang tidak boleh tercederai oleh tujuan sempit, cara-cara tidak bermoral hingga cara pandang dan penyikapan yang dapat mendegradasi sakralitas kekuasaan rakyat.

Dengan demikian maka memaknai kontestasi politik tidak lagi sekadar soal menang kalah, karena hanya akan menyempitkan wawasan moral kebangsaan. Kontestasi politik harus kemudian dimaknai sebagai puncak kolaborasi untuk menjamin mandat rakyat dapat dijalankan lebih progressif dan dapat dikontrol melalui mekanisme yang telah disediakan.

Belum memenangi pilkada tidak mesti dimaknai sebagai kekalahan. Pemaknaan yang keliru dapat menyebabkan efek menurunnya kontribusi dan kolaborasi element bangsa yang ada di daerah itu sendiri dalam mengamankan cita-cita dan tujuan rakyat dalam berpemerintahan. Rakyatlah yang layak disematkan sebagai pemenang dari setiap pemilu.

Membangun paradigma seperti ini bukan perkara mudah. Karena tidak semua calon dan figur peserta pilkada dan atau elit politik itu sendiri memiliki sikap integritas politik. Ketiadaan integritas politik bagi kader parpol dapat membiaskan tujuan hajatan pilkada. Pada akhirnya pilkada hanya mempertontonkan distorsi paling substansial, seperti politik uang, dusta, manipulasi dan lain sebagainya.

Untuk mewujudkan kontestan politik atau politisi yang memiliki integritas politik setidaknya, menurut Dr Dedi Kurnia Syah Putra dalam Political Social Responsibility, setidaknya mencakup dua hal:

Pertama, product knowledge atau pengetahuan kontestan pilkada tentang produk. Dalam konsep ini mengatakan bahwa integritas tidak dapat tumbuh hanya dengan alasan nasionalisme, namun lebih dari itu yakni memahami secara tunggal karakter keindonesiaan yang meliputi pemahaman historis bangsa ini secara utuh.

Kedua, foundation knowledge, atau pemaknaan latar belakang kebangsaan. Asumsi dasarnya jelas bahwa bangsa ini memiliki keragaman yang sangat kaya, mulai darai suku, ras dan agama. Dari sekian banyak keragaman yang menjadi nilai kumulatif adalah nihilnya kesejahteraan bagi rakyat.

Integritas politik haruslah dimiliki oleh setiap kontestan politik bahkan oleh konstituen itu sendiri. Karna jika hanya memiliki hasrat kekuasaan semata tapi minim dalam totalitas menjadi abdi rakyat hanya akan menjadi estafet penderitaan bagi rakyat.

Rakyat membutuhkan konsistensi yang nyata kepada semua peserta pilkada. Konsisten bahwa perjuangan dan jalan pemilihan yang diambil sebagai jalan kekuasaan betul-betul sebuah persembahan buat rakyat. Implementasi sifat amanah menjadi pesan rakyat yang ditunggu aktualisasinya.

Internalisasi nilai-nikai filosofis politik oleh subjek atau aktor politik menjadi landasan dan standar sikap untuk merespon setiap konsekuensi politik, termasuk kemampuan yang dewasa dan produktif memaknai hasil hitung KPU dalam pilkada.

Jika tujuan dalam kontestasi politik adalah dari dan untuk rakyat, maka sejatinya tak ada kekalahan dalam ajang perebutan suara rakyat. Jika rakyat telah menentukan berbeda dengan harapan, maka itu adalah kemenangan rakyat.

Kontestan yang memiliki integritas politik pasti meletakkan penghormatan atas apa yang rakyat tentukan. Alih-alaih bersikap destruktif malah ia akan mengambil sikap kolaboratif bersama rakyat dan pemegang mandat kekuasaan rakyat untuk mendorong cita-cita rakyat.

Akhirnya, jadilah kontestan pilkada yang memiliki integritas politik. Memilih berintegritas itu menunjukkan seseorang adalah pemenang yang sejati. Pada akhirnya, pilkada adalah panggung memenangkan integritas politik.*