Politik “Membanjur” Upaya Tunda Pemilu
Oleh Kadarisman
Pemerhati Sosial Politik Banua
Perilaku elit politisi di Senayan mewacanakan agar pemilu diundur. Hal itu tidak berangkat dari ruang kosong. Diyakini ada upaya tangan-tangan terselubung penguasa turut bermain. Tujuannya agar melanggengkan kekuasaan dengan membegal konstitusi.
Memundurkan pemilu ini disuarakan oleh Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar.
Muhaimin yang saat ini menduduki kursi empuk wakil Ketua DPR RI meminta pemilu 2024 dimundurkan hingga 2 tahun ke depan.
Konsekuensinya kekuasaan presiden dan para pembantunya akan melampaui batas waktu yang sudah diatur konstitusi. Demikian kursi empuk Muhaimin Iskandar sebagai salah satu pimpinan DPR juga diperpanjang hingga 2026.
Ketua Partai Amanat Nasional atau PAN, Zulkifli Hasan senada Muhaimin. Dia mengemukakan faktor geopolitik perang yang melibatkan Rusia vs Ukraina menjadi alasan.
Tentu saja alasan ini mengada-ada. Tidak nyambung. Syahwat kongsi kekuasaan membuatnya tidak lagi rasional mengetengahkan alat pembenar. Terlihat tampak ngawur dan pragmatis.
Alasan tak masuk akal itu sama halnya dengan alibi Muhaimin Iskandar. Stagnasi ekonomi disodorkan sebagai alasan.
Mestinya alasan itu lebih tepat digunakan untuk mempercepat pemilu, karena stagnansi ekonomi biasanya satu tanda bahwa negara telah salah urus.
Resisi ekonomi dan krisis moneter tahun 1998 menjadi fakta sejarah kekuasaan Soeharto selesai di tengah jalan. Jika stagnasi ekonomi terjadi, maka pemilu menjadi jalan konstitusional meraih mandat rakyat agar beroleh pemimpin yang mumpuni mengelola negara agar tidak stagnan.
Apa yang disuarakan baik Muhaimin maupun Zulkifli, sudah barang tentu tidak berdiri sendiri. Ada tangan – tangan kekuasaan lain yang tersembunyi di balik itu. Bagaimanapun pemerintahan Joko Widodo yang mesti berakhir di 2024 menimbulkan pos power syndrome bagi lingkaran kekuasaan.
Banyak lingkaran elit kekuasaan belum siap hengkang dari keinginan berkuasa lebih lama tetapi menolak cara-cara konstitusional.
Menunda pemilu adalah menarik cara-cara otoriterisme ke dalam sistem demokrasi yang sudah disepakati.
Upaya menunda pemilu tidak saja merusak tatanan demokasi namun juga mengangkangi kedaulatan rakyat yang memiliki hak menentukan arah politiknya di tahun 2024.
Wacana agar pemilu ditunda adalah bentuk komunikasi politik “membanjur”. Gaya politik membanjur kerap diperankan oleh para oportunis untuk memenuhi kepentingan sempit dan jangka pendek pribadi semata.
Politik membanjur ini dikenalkan Profesor DR Budi Suryadi. Dekan Fisip ULM menilai politik membanjur ini merupa perilaku mitologi yang diangkat dari cerita rakyat Kalimantan Selatan, Si Palui yang kerap dipraktikkan dalam politik praktis.
Prof Budi, mengemukakan, konsep-konsep politik yang berkolaborasi dengan kondisi lokal Banjarmasin ke dalam 5 penafsiran, salah satunya adalah politik membanjur.
Perilaku politik membanjur dalam terminologi budaya masyarakat Banjar Kalimantan Selatan dapat dimaknai sebagaimana makna aslinya.
Membanjur adalah aktivitas untuk mendapatkan tangkapan ikan dengan umpan yang dikaitkan pada kail tanpa perlu membuang waktu dan berlelah lelah menunggu.
Banjur yang sudah dipasangi umpan lalu dilepaskan ke perairan. Pada kebiasaannya banjur baru akan ditengok pada esok harinya. Besok akan diketahui , apakah umpan telah disambar ikan atau tidak.
Membanjur sangat memungkinkan bagi seseorang beroleh ikan tanpa perlu berjaga di waktu panjang seperti halnya para pemancing yang selalu sabar berjaga pada galah pancingnya.
Ketua PSI, Giring Ganesha menggunakan jurus membanjur ini. Jauh-jauh hari Giring, mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden.
Balihonya bertebaran di berbagai daerah dengan tulisan “Giring Untuk Presiden 2024.”
Namun berumur tahun sudah , tak kunjung ada yang mematuk. Sadar akan hal itu, baru baru ini, Giring menyatakan mundur dari bakal calon capres 2024.
Banjur PSI tidak “dipatuk” oleh oleh rakyat. Dia pun sadar diri untuk tidak dipercaya masyarakat Indonesia
Politik membanjur inilah yang sedang difloorkan oleh Ketua PKB dan Ketua PAN untuk menunda pemilu. Tidak berbeda dengan yang dilakukan Giring Ganesha.
Pertanyaannya apakah rakyat Indonesia menerkam dan menelan umpan itu, atau sebaliknya, menolak keras setiap upaya kekuasaan menabrak amanat UUD 45.
Pada akhirnya sikap bangsa ini dapat menolak praktik politik praktis yang membanjur ini.
Sepantasnya, perilaku yang hanya berorientasi mengamankan kekuasaan dengan berbagai manipulasi nilai demokrasi harus ditolak.
Rakyat Indonesia harus ingat, partai-partai politik yang wacananya menghalalkan cara-cara kekuasaan dengan menabrak konstitusi tidak perlu lagi untuk dipilih.
Sikap ini penting sebagai punishment politik atas perilaku politik membanjur para elit kekuasaan yang memandang rendah kedaulatan rakyat. ***