Prahara Pembubaran FPI, Bernegara Adalah Kesepakatan
Oleh: Muhammad Ramli Jauhari
Calon Ketua Umum PB PMII Nomor Urut 03
Dalam setiap momentum pergantian tahun, resolusi tahunan menjadi diskusi menarik setiap kalangan. Individu, Keluarga, Instansi bahkan Organisasi. Ingatan secara otomatis mundur terstruktur pada rentetan pencapaian dalam satu tahun terakhir, lengkap dengan tantangan yang melekat erat dengan capaian yang akhirnya menjadi catatan penutup pada bagian lembar evaluasi.
Refleksi akhir tahun menjadi tajuk utama setiap agenda yang dilaksanakan, apapun bentuknya. Banyak kalangan sepakat, bahwa 2020 menjadi tahun evaluasi, tertumpuk semangat serta harapan baru yang lebih baik di 2021.
Sepanjang tahun 2020, urusan sosial kemasyarakatan silih berganti hadir dan menyeruak kepermukaan yang melibatkan seluruh unsur, baik sipil maupun pemerintahan. Dimulai dari pandemi COVID-19 yang belum juga berakhir, dinamika beragama ditengah-tengah masyarakat, konstelasi politik, hingga urusal moral spiritual. Tak kalah penting dari kesemuanya, periodisasi kepengurusan Partai Politik (Parpol), Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada semua level dan tingkatan mengalami kerancuan baik dalam rekrutmen maupun regenerasi kepemimpinan. Mengelola semua aspek serta dinamika yang terjadi tersebut bukanlah perkara mudah, karena selain menguras tenaga serta fikiran, emosi pun harus dipertaruhkan.
Dari akumulasi riuh redam problematika tersebut, tentu bukan menjadi salah satu dari sekian banyak program kerja dalam tubuh Front Pembela Islam (FPI) sebagai ormas keagamaan, bahwa 2020 adalah tahun terakhir bagi eksistensi mereka sebagai sebuah gerakan moral.
Sebagaimana semangat “Revolusi Akhlak” yang dicetuskan oleh Imam Besar mereka, Al-habib Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab, Lc., MA., DPMSS. Bahkan mungkin, ide tersebut justru beliau dapatkan setelah melalui refleksi yang panjang saat dalam masa uzlah beberapa tahun di Kota Makkah as-Syarif. Apapun itu, pembubaran bukan refleksi akhir tahun yang menggembirakan bagi mereka.
Saudara-saudara, ikhwanuna wa akhwatuna fillah.
Front Pembela Islam (FPI) Resmi Dibubarkan. Sebuah flyer yang bersumber dari akun media sosial Instagram SINDONEWS.com berisikan Maklumat Kapolri nomor: Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan Terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI. Flyer tersebut diposting pada hari pertama di tahun 2021, hal itu merupakan langkah lanjutan setelah Keputusan Resmi Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) di Jakarta pada 30 Desember 2020 tentang FPI Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Terlarang yang tidak lagi memiliki legal standing sebagai Organisasi di Tanah Air.
Pembubaran FPI memang menimbulkan polemik, namun banyak hal yang menjadi dasar atau latar belakang dari polemik tersebut. Mulai dari seringnya melakukan razia sepihak, provokasi dan tindak kekerasan. Segala macam aktivitas tersebut membuat ketertiban dan keamanan nasional terganggu yang tentunya bertentangan dengan hukum.
Negara memandang bahwa aktivitas yang selama ini dilakukan oleh FPI mengarah kepada disintegrasi bangsa, sehingga perlu untuk pengambilan keputusan penting guna menyudahinya, sebelum dampak negatif semakin meluas.
Namun demikian, pilihan untuk membubarkan FPI tetaplah sebuah langkah solusi yang mengandung dampak serta risiko yang tidak sederhana.
Dari sisi sebaliknya, eks anggota FPI semestinya tidak harus reaksionis dan keukeuh dengan membentuk kembali Front Persatuan Islam (FPI), sekalipun dengan format logo baru namun kemungkinan tetap dengan AD/ART yang tidak jauh berbeda. Adanya upaya untuk tidak patuh terhadap konstitusi, yaitu tidak akan mendaftarkan nama FPI yang baru sebagai organisasi masyarakat (ormas) kepada pemerintah dengan anggapan bahwa hal tersebut tidak penting dan bermanfaat.
Bahkan, terdapat indikasi membenturkan tugas dan fungsi aparat keamanan TNI/Polri dengan UUD 1945 jika dikemudian hari dilakukan penertiban, karena berlindung pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dengan demikian, justru langkah mereka semakin jauh melenceng dan tidak relevan dengan tujuan mulia yang diusung serta diperjuangkan.
Sebagaimana Kim dan Renee berbicara terkait paradigma lama manajemen-bisnis, berangkat dari asumsi dasar bahwa sumber daya di dunia ini terbatas (scarcity), sehingga manusia harus bersaing, berebut bahkan berkelahi untuk memperoleh bagian dari sumber daya itu.
Seperti “teori pencet balon”. Satu bagian balon dipencet (dan kempes), bagian lainnya menggelembung, begitu sebaliknya. Intinya, jika yang satu mendapatkan, yang lain jadi korban. Ini karena adanya persepsi bahwa tersedia terbatas, bahkan langka.
Apa yang disampaikan oleh Kim dan Renee tidak sepenuhnya relevan jika dikomparasikan dengan sumber daya sosial yang notabene tersedia tak terbatas di negara ini. Namun jika ruang eksistensi menjadi fokus, tentu terdapat kesamaan prinsip bahwa eksistensi itu membutuhkan panggung, ruang serta kesempatan untuk berekspresi. Satu kelompok yang menjadi korban, kesempatan dan panggung akan didapatkan oleh kelompok yang lain.
Sebenarnya pula, tidak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan, selama ruang eksistensi dipergunakan untuk menunjukkan bahwa kelompok tersebut sangat ingin mewujudkan sikap bernegara yang diliputi oleh kedamaian serta menjunjung kesepakatan-kesepatan bersama yang telah tertuang dalam konstitusi.
Dari sekian banyak jumlah eks anggota FPI, penulis masih berbaik sangka bahwa diinternal mereka terdapat individu-individu yang memaknai 30 September 2020 sebagai momentum introspeksi terkait pola gerakan moral, lebih-lebih lagi upaya revolusi akhlak yang mereka cita-citakan selama ini. Alangkah baiknya mereka bertafakkur sembari mempertimbangkan untuk bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah guna melanjutkan perjuangan yang sudah mereka mulai.
Sebagaimana spirit ajakan dari Gerakan Pemuda Ansor, melalui Wakil Ketua Umum sahabat Moh. Haerul Amri menyampaikan, “Ansor mengajak kepada eks kader-kader FPI untuk melanjutkan perjuangannya secara baik dengan bergabung di Ormas Islam yang memiliki pandangan ke-Islaman moderat (washatiyah). Mari bersama-sama untuk kembali meneguhkan komitmen kebangsaan kita dengan menciptakan situasi yang damai dan kondusif. Seruan berbentuk flyer tersebut, diposting oleh akun resmi Instagram GP Ansor persis bersamaan tanggal dengan Maklumat Kapolri, 1 Januari 2021. ***