Oleh: Dr. Salim Ganiru (Sekda Pulau Taliabu)

Catatan Pasien Positif Korona

Tidak ada orang di dunia ini yang ingin terjangkit Corona Virus Desease (Covid-19), virus berbahaya yang telah tercatat menelan korban jiwa hingga jutaan orang dari penjuru belahan dunia ini.

Adalah sebuah mukjizat dari yang maha kuasa, Allah SWT. Jika kita bisa sembuh dari Covid-19. Saya dan mungkin jutaan orang diluar sana yang tak sengaja beruntung bisa terbebas dari virus ini. Meski begitu setidaknya kita bisa memetik pelajaran atas cobaan ini dan lebih banyak bersukur dan berserah diri pada yang maha kuasa.

Berkah atas kesembuhan ini, maka Ijinkan saya untuk berbagi sedikit cerita pengalaman melawan Covid-19, dari awal bagaimana saya berjuang untuk berusaha sembuh, dan berkat orang-orang sekitar yang tanpa lelah terus memberikan dukungan dan doanya.

Semoga dengan cerita ini, sedikit bisa memberikan motivasi dan semangat kepada orang-orang yang sedang berjuang melawan Covid-19.

*

Semua bermula di tanggal 17 September 2020, ketika saya berencana melakukan rapid tes untuk keperluan perjalanan dinas, pelaksanaan Bimtek bersama pejabat lainnya di jajaran lingkup Pemda Taliabu serta Ketua dan Anggota DPRD, yang dijadwalkan pada 21-23 September di Kota Kendari, perihal penyususan APBD 2021.

Sudah sebagaimana lazimnya, setiap orang yang berkeinginan melakukan perjalanan keluar daerah, diwajibkan untuk mengituti protokol kesehatan, sala satunya rapid tes. Sebagai syarat untuk mendapatkan izin jalan, itupun jika hasilnya menunjukan Non Reaktif.

Dengan segera saya pun meluncur ke RSUD Bobong, untuk melakukan rapid. Tak ada tanda-tanda atau rasa kecurigaan sedikitpun yang terlintas dibenak kalau hasil rapid tes ternyata reaktif. Semua itu terjawab ketika dr. Ama menunjukan hasil rapid tes, setelah mengambil sampel darah melalui pembuluh dara vena dan menyatakan saya reaktif

Setelah mendengar itu, seketika terasa sesuatu menghantam diri saya, dunia nampak gelap. Semua orang yang berada di sekitar rumah sakit tiba-tiba menjauh dari saya. Saya pun mendegar sala satu petugas memerintahkan semua untuk mengenakan masker dan menjaga jarak

Tak ada yang tau bagaimana perasaan saya saat itu, ketakutan, gelisah, panik, semuanya bercampur aduk, membuatku tak berdaya sama sekali. Saya hanya beristigfar sembari menarik napas panjang.

“Mungkin ini peringatan Allah kepada saya, untuk tidak pardidu (Ronda) dulu,” gumam saya dalam hati. Mencoba tegar dihadapan semua orang, namun sebenarnya tak ada lagi secerca harapan di dalam benak saya.

Hari-hari saya pun menjalani karantina, dengan saran dari sahabat saya, seorang Direktur RSU, dr Tri Harmono. Dirinya merekomendasikan saya untuk melakukan isolasi mandiri di kediaman selama 1 bulan penuh dan menjaga pola hidup sehat

Selama masa karantina mandiri, saya meminta petugas kesehatan untuk melakukan rapid tes setiap 4 hari sekali. Dari 8 kali di rapid tes hasilnya selalu tidak pernah memuaskan saya karena menunjukan reaktif. Walau di beberapa tes terakhir garis tesnya mulai terlihat kabur.

Mungkin dalam kasus saya, bagi orang yang terkonfirmasi postif namun tanpa menunjukan gejala. Ini mungkin keberuntungan saya, karena selama masa karantina saya tidak merasakan gejala, termasuk keluhan (OTG).

Dalam keresahan saya terhadap kondisi saya, masih banyak dukungan dan suport yang datang dari teman-teman. Sehingga saya masih tetap tegar dan terus berjuang melawan korona.

Seorang dokter yang terus memantau perkembangan kondisi saya, kerap kali datang dan melemparkan pertanyaan canda ala-ala dokter sembari berharap saya tidak terlalu tertekan dan terhibur.

“Bapak ada keluhan apa selama masa karantina?” tanya dokter mengecek.

Mendengar pertanyaan dokter yang suka bercanda itu, saya pun menjawab

“Saat ini yang menjadi keluhan saya hanya kekurangan duit,” jawab saya spontan.

Saya dan Dokter sudah terbiasa saling bercanda saat dirinya datang memeriksa. Mungkin ini juga memori yang akan selalu saya kenang. Alih-alih bercanda, canda tawa juga dapat menaikan imun tubuh saya.

Semua ini untuk membunuh kebosanan saya selama 1 bulan mengurung diri, dan hanya melaksanakan aktivitas bersepeda seorang diri sejauh 10 km, dan berenang di laut. Malah ada teman yg menyarankan untuk meneguk air laut sebanyak 3 tegukan,
saya sih laksanakan saja demi mempercepat kesembuhan, meski tidak merasakan kemanjuran juga.

Satu hentakan yang membuat saya semakin down. Saat pertama kali dinyatakan reaktif, semua orang fokus tertuju kepada saya. Media online maupun cetak berseliwerang memberitakan bahwa saya telah reaktif. Tentu ini menjadi heboh karena saya orang pertama yang dinyatakan positif di Pulau Taliabu.

Kabar ini hampir semalaman membuat saya tidak bisa tidur, karena trauma dan stres berat, apalagi selama ini Taliabu masih dalam ZONA HIJAU

Saya betul-betul merasa bersalah dan berdosa, karena dianggap sebagai pemecah telur, tapi apa daya, nasi sudah jadi bubur, tidak ada seorangpun yang mau memintah wabah Covid ini.

Ibarat pepatah Melayu “Bukan salah bunda mengandung, tapi salah bapak tak pakai kondom”. Semuanya kita kembalikan kepada Sang Khalik atas segala kehendakNya.

Ketahuilah bahwa ketika pasien Covid 19 masuk ruang isolasi RSU, hanya ada 2 pilihan, yakni keluar dengan sehat, atau di Peti Mati yang dikeluarkan. Meski begitu saya tetap optimis, bahwa banyak yg keluar dengan sembuh dari pada Peti mayat yang keluar.

Dalam ruang isolasi tidak bisa ketemu keluarga, itupun hanya dipantau melalui CCTV. Sadis memang! Dan Alhamdulillah, setelah dilakukan perawatan yang sangat intensif di Ruang Isolaso RSU Chasan Busori swab ke 2 kalinya. Memberikan hasil yang mengembirakan, bahwa saya sudah negatif.

Setelah divonis sembuh, kemudian saya sudah diperbolehkan pulang ke rumah, tapi tetap memperhatikan protokol kesehatan, guna memperecepat proses recovery kembali.

Sebenarnya wabah covid ini, kalau diatasi dengan cepat dan benar tidak berbahaya, apalagi tidak punya penyakit bawaan, yang sangat berbahaya adalah ketidaksiapan dalam mengedukasi masyarakat atau lingkungan sekitar untuk menerima mereka yang terkena covid atau pasca covid.

Saya alami sendiri, banyak orang yang selama ini berhubungan baik dengan kita jangankan mau bertegur sapa, melihat muka kita saja, sudah memalingkan wajah ke tempat lain. (Astagfirullah) hanya tahan napas saja, memang harus ada “Variabel Kesabaran” yg cukup eksta bagi para penderita dan ex covid.

Tapi masih banyak orang yang faham tentang protokol kesehatan tetap menjaga hubungan baik dan merekalah yang memotivasi selama ini, terutama orang-orang terdekat, keluarga, anak istri, para pimpinan OPD dan staf yang tak henti-hentinya memberikan dukungan moral untuk mempercepat kesembuhan.

Saya meyakini bahwa 50 % merupakan motivasi dan keyakinan untuk sembuh, sementara sisanya 50% adalah upaya tindakan medis.

Saya juga merasa beryukur dan berterimakasih pada Pemerintah Taliabu, Dirut RSU Chasan Boesori, Kadis Kesehatan Provinsi dr. Idhar, Ibu Kuraysia Marsaoly (Kadis Kesehatan Taliabu) dan lebih khusus paramedis RSU CHB yang setiap hari berpakaian ala astronot yang sampai kapanpun tidak akan ke bulan, tentu dibawah komando dr. Handoko dokter spesialis paru.

Sekali lagi terima kasih bagi para medis dan dokter terbaik. Allah yang akan membalas semua budi baik kalian. Ingat positif Covid 19 bukanlah lonceng kematian, yang penting diatasi dengan cepat dan benar.

Diparagraf terakhir, ingin saya kembali ingatkan kepada pembaca tulisan saya, bahwa pesan Mama Piara saya, yaitu 3 M+1: Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, tetap memakai masker dan jaga jarak atau jangan kumpul-kumpul kalau tidak perlu, serta penerapan pola hidup bersih. Semoga testimoni ini bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Salam Sehat.