Oleh: Wandi Sampulawa.

7 Oktober 2020.

Nenek moyang Bangsa Indonesia pelaku sejarah dahulu, pernah menciptakan satu tatanan negara maritim yang jaya penuh masa keemasan, hanya bermodalkan dayung, pinisi, kora-kora dan jenis tranportasi sederhana lainnya, serta alat perang seadanya mampu menyatukan Nusantara dari ujung barat ke timur, ini tidak hanya tentang politik ingin menguasai semata, selebihnya adalah menyatukan persepsi sebagai suatu bangsa yang mampu membangun peradaban yang tidak pandang rendah. Dibandingkan generasi sekarang yang sudah terlampau canggih (tidak lagi menggunakan penemuan James Watt atas mesin uap pada abad ke 17) menjustifikasi warisan nenek moyangnya ibarat hanyalah dongeng pengantar tidur, cerita negara maritim ibarat tabu, pada akhirnya generasi muda lebih memilih hidup agraris, dengan prilaku konsumtif modern layaknya cerita orang yang hidup damai di benua biru, mati-matian memperjuangkan UU Agraria, lalu lupa tentang nilai ekonomi Negera Maritim, bercengkrama sudah menjadi orok mimpi semu dan menua diantara primbom kuno. Sekarang, “pemimpin koloni” membangun cerita maritim dengan penuh diksi kemasan yang begitu eksotis, syarat akan kepentingan politik, mengulang nostalgia, Negara sengaja menciptakan program “Tol Laut”, lucunya bahtera tol laut tersebut kecepatan mesinnya dibawah rata-rata, lebih cepat kapal layar yang bermodalkan angin peninggalan para leluhur.

Esok pagi, orang-orang yang geram akan matinya kebijakan pro rakyat berlomba-lomba menjadi teladan peradaban menempuh jalan berjuang. Bermodalkan makian, cacian, kecaman, dan juga ancaman berbondong-bondong bersatu dan berseru menjadi lautan masa. Sementara sang “penguasa koloni” telah bersepakat, semua media wajib diam, jangan meliput, biarkan mereka ribut asalkan tak ada berita untuk diinput. Sang penguasa segala koloni tahu, bagaimana cara meredam segala aksi, cukup mengumpulkan sang pemilik segala simpul tokoh “98”an yang pada masanya adalah “trust driver”, siapkan mereka bahan baku maka selanjutnya segala gerakan akan kaku.

Sungguh sayang, kita yang hidup dalam imajinasi bayang-bayang angkatan “98”, tidak akan bisa dan sama persis mengulang kejayaan yang lalu, meraka menyebut kita pejuang angkatan “Nostalgia” yang hanya hidup dari mimpi perjuangan dua dekade silam. Pada ruang dialektika dan pergerakan kita bangga mengulang cerita kelompok ini, sebagai satu lokus keadilan atas segala perlawanan untuk rezim otoriter, padahal apapun caranya, kelompok ini berusaha melindungi kekuasaan atasnama reformasi yang telah mereka perjuangkan dulu dengan penuh kharismtik tanpa mengingat berapa banyak ceceran darah kawan yang pernah tumpah ruah dijalan juang. Makin kesini perut kelompok ini makin membuncit, kenyang, puas dengan segala hidangan reformasi. Sementara kita yang baru tumbuh, hanya bisa menikmati “Tinja” dan kotoran serta kentut-kentut mereka.

Pada satu kesimpulan, kemajuan teknologi abad 21menjadi modal rekayasa sosial rezim penguasa, selalu melibatkan kelompok mahasiswa labil, mereka mudah terprovokasi dan sangat ambisius memandang kebenaran dan keadilan, sebagai identitas diri dan jati diri kita warisan para pendahulunya, pada dasarnya kelompok ini mudah dibenturkan, dan dikotak-kotakan sesuai kebutuhan “majikannya”. Fase itu sering kali menjadikan kelompok mahasiswa sesebagai sang superhero, pejuang kebenaran dan penegak keadilan, namun dari sudut pandang berbeda, orang-orang yang mencari keuntungan politik, kelompok mahasiswa sering dilihat sebagai “pendulang rezeki”.

Dengan kemampuan sumber daya yang ada, memanfaatkan keadaan untuk bertransaksi sesuai kebutuhan dan kepentingan mereka, halal haram sama enaknya dimata kelompok “sasat” tersebut. Yang penting kepentingan perutnya tercapai maka swasembada politik melimpah ruah diantara doa-doa dan segala bentuk ibadah jalanan. Memang demikian atmosfir pergerakan kekinian, semua orang cari panggung, cari nama, butuh pujian, dan senang disanjung, makin kesini makin lupa diri, yang tua makin genit dan yang muda makin terpeleset. Jalan perjuangkan tak secanggih Android yang ada ditangan kita semua, para kegiatan pelaku sosial yang menyimpang akan menjadi “one forces” bagi penyimpangan sosial selanjutnya. Dan itu pasti.

Selanjutnya pola pergerakan kekinian yang mudah dideteksi oleh radar pemerintah, sebab sebelum “aksi” kita menceburkan diri pada arus jual beli narasi di media sosial, mempertontonkan segala kelemahan demi mendapatkan sebuah pengakuan, kebanyakan diantara kita lupa “esensi pergerakan” yang menjadi identitas seorang aktivis dimana itu adalah imunitas ideologi, menjunjung tinggi sebuah komitmen tanpa ada tendensi dari kelompok manapun. Transformasi pergerakan beberapa dekade lalu menjadi bahan evaluasi para pelaku pergerakan, sebelum sampai pada tahapan demonstrasi, manajemen pergerakan harus diperkuat untuk segala lini. Simpul pergerakan tidak semata pada aksi masa akan tetapi ada senjata lainnya yang menjadi kekuatan di meja juang.