Oleh: Erlina Effendi Ilas

Membicarakan wisata puncak, selalu saja didominasi oleh tempat yang jauh dari tempat kita. Sebut saja misalnya Bogor, Jawa Barat, Bromo di Jawa Timur, Becici di Jogjakarta.

Ada juga puncak terkenal di Banua kita, yakni puncak halau-halau di Barabai, Kalsel. Untuk mencapai ke sana, kita butuh 4 hari berjalan kaki. Lebih jauh dari tujuan ke pulau Jawa manapun.

Tapi Masya Allah, di Bumi Sarapa Kawa juga terdapat wisata puncak. Tak jauh dari pusat kota. Dengn berkendara mobil hanya butuh 35 menit menuju lokasinya. Itulah puncak Mambanin. Wisata puncak ini berada di Desa Marindi RT 2, Kecamatan Haruai, Tabalong. Tak kalah dengan lokasi lainnya, Mambanin pun menawarkan panorama yang memikat hati. Saya sudah membuktikannya.

Sabtu, 25 Juli 2020, saya mengajak keluarga kecil saya. Bersama suami, empat orang anak dan seorang saudara sepupu, kami berkemas. Niat kami, malam mingguan kali ini ingin dihabiskan di Puncak Mambanin.

Karena berangkat pukul 17.00, singgah dan sempat makan, jajanin anak-anak, tiba di Desa Marindi azan mahrib. Usai salat, dan parkir mobil, ditemani guide, kami menjajal Mambanin malam hari.

Dari jalan beraspal kami menyusuri Jalan Usaha Tani (JUT) sekira 2 kilo meter. Tantangan mulai hadir di depan mata. Harus mendaki malam hari, jalan setapak di lereng puncak benar-benar menantang adrenalin. Nafas saya mulai ngos-ngosan. Tapi tak apa, karena sebentar lagi semua deru nafas yang panas ini akan terbayar.

Sekira 30 menit pendakian sampai ke puncak. Tapi itu mereka yang terbiasa. Buat saya yang tak biasa butuh satu jam. Tak terhitung berapa kali saya terhenti di tengah pendakian. Praktis saya ada di barisan paling belakang.

Meski susah payah, akhirnya saya pun tiba di puncak Mambanin. Saya dapat bernafas lega. Susana yang tadi gelap tampak lebih terang. Di ujung lepas mata memandang tampak cahaya-cahaya lampu PLTU MSW, PT Conch, Islamic Center dan kilau kota Tanjung dari atas Mambanin.

Angin malam bertiup santai. Keringat yang tadi membanjiri seluruh tubuh pun sirna, berganti kesejukkan hingga menembus relung kesyukuran di jiwa terdalam. Masya Allah, Dialah Allah Yang Maha Besar dan Maha Kaya, pemilik secuail semesta yang malam ini saya ada di puncak ini.

Kami menyalakan api. Aktivitas anak-anak pun mulai sibuk. Ada yang membakar jagung. Si bungsu berlari-lari kecil di puncak minim penerangan itu. Kami banyak dengar kisah guide dari Ikatan Pencinta Alam Tabalaong (IKAPATAB), Muhammad Arsyad dan Ripandi.

Arsyad, demikian guide kami malam itu berkisah tentang Mambanin yang dikenalkan sejak tahun 2018. Dibeberkannya tentang benefit panorama Mambanin. Di kaki gunungnya juga terjuntai riam yang eksotis mesona. Jika lelah dipuncak, kita pun bisa membumi kembali, berjumpa dengan riam mambanin yang menyegarkan.

Sambil berkisah, Arsyad sambil membetuli tali terpal. Ia juga memasangkan kami 4P double playset. Dengan fasilitas tidur seadanya, kami pun pulas melepas lelah di Mambanin.

Subuh sudah terjaga. Owa-owa ramai tertawa bersahut-sahutan. Cahaya lampu di kota Tanjung sudah tak lagi tampak. Semua berganti dengan kabut memutih di pucuk-pucuk pohon di kaki gunung.

Semalam saya bersama keluarga di Puncak Mambanin, mampu meluluhkan penat dari rutinitas. Saya bersyukur, hanya dengan cara sederhana ini, saya menemukan betapa besar keagungan Allah. Jika ada lelah dari menapak puncak Mambanin, semuanya seolah sirna dikubur malam yang dingin di ketika itu.

Puas di puncak, saatnya membumi, turun ke dasar riam yang mengalir air pegunungan. Airnya jernih, bening masih alami. Mereka pecinta alam, meminum air itu tanpa dimasak.

“Ini air pegunungan murni. Saya selalu meminumnya. Dan sudah terbiasa tanpa dimasak,” jelas Ripandi.

Air riam Mambanin tak hanya mampu menghilangkan dahaga tapi juga mumpuni meluluhkan penatnya rutinitas kehidupan. Airnya yang deras seolah merampas beban psikologis, lalu mengisinya dengan butiran-butiran air yang halus. Jiwa seperti tampak bergairah lagi, hanya semalam di Mambanin. ***