Oleh: Ketua BEM Polman Bangka Belitung, Atha Said Fajri

BANGKA BELITUNG, metro7.co.id – Konflik horizontal yang terjadi di perairan Teluk Kelabat Dalam selalu menjadi perhatian yang besar, dikarenakan aktivitas penambang ilegal yang kian marak berdatangan.

Permasalahan yang terjadi di Teluk Kelabat Dalam bukan baru-baru ini saja terjadi, melainkan mulai dari sejak tahun 2014 sampai dengan hari ini.

Berbagai upaya yang telah dilalukan nelayan untuk menolak aktivitas tambang ilegal sudah sering dilakukan, baik secara diplomatis atau pun aksi demontrasi.

Namun tatkala permasalahan tak kunjung selesai, malahan akhir-akhir ini ratusan ponton menambang di luar dari Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Akan tetapi sangat disayangkan, ketika ada regulasi yang telah mengatur perihal sanksi pidana kepada pelaku tambang ilegal yang tercantum di dalam pasal 158 UU No 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pelaku yang menambang secara ilegal dapat terkena sanksi pidana berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah, faktanya belum mampu memberikan efek jera terhadap para pelaku tambang ilegal di Bangka Belitung.

Artinya aturan yang telah dibuat dalam Perda No 3 Tahun 2020 tentang RZWP3K juga tidak begitu menjadi sebuah perhatian bagi para pelaku usaha pertambangan karena pelaksanaan di lapangan masih jauh dari harapan dan sasaran, maka sudah seharusnya aparat penegak hukum (APH) bertindak untuk melakukan berbagai upaya penertiban di areal Teluk Kelabat Dalam sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Lebih dari itu, dalam prakteknya di lapangan, sering sekali permasalahan semacam ini bukan tidak lain adanya oknum yang terlibat di dalam maraknya aktivitas pertambangan ilegal di perairan Teluk Kelabat Dalam.

Mulai dari perangkat desa hingga APH pun terindikasi menjadi bekingan para pelaku tambang ilegal. Ini sudah menjadi rahasia umum bahwasanya ada beberapa oknum yang memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan keuntungan.

Apalagi akhir-akhir ini dikagetkan dengan statemen dari Kepala Dusun Tanjung Batu, Desa Lumut, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Agus, menyebut bahwasannya terdapat oknum wartawan yang meminta kompensasi sebesar lima ratus rupiah per kilogram dari hasil tambang timah di Perairan Teluk Kelabat Dalam, khususnya di kawasan Batu Hitam.

Agus selaku kadus juga merupakan salah satu koordinator tambang ilegal yang berada di perairan Teluk Kelabat Dalam.

Jikalau yang disampaikan oleh Agus itu benar adanya, selain telah melanggar kode etik, oknum wartawan ini juga sudah termasuk ke dalam tindak pidana korupsi.

Sebab, kode etik wartawan, khususnya pasal 6 menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”

Maka dari itu sudah seharunya tindakan hukum diambil untuk kemudian menindak tegas oknum yang memang terbukti terlibat dalam aktivitas tambang ilegal.

Hal ini penting agar kepercayaan publik terhadap kepolisian, khususnya Polda Bangka Belitung tidak tergerus.

Sudah seharusnya ini menjadi perhatian khusus untuk Polda Bangka Belitung segera menyelesaikan permasalahan yang telah berlarut-larut ini.

Sudah terlihat dengan jelas bahwasanya banyak pelanggaran hukum yang terjadi, akan tetapi kenapa persoalan itu tak juga kunjung terselesaikan.

Maka dari itu Polda Babel yang salah satu kewenangannya ialah menegakan hukum harus mampu menindak tegas seluruh oknum yang terlibat dalam aktivitas pertambangan ilegal di perairan Teluk Kelabat Dalam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.