Dedeng Zawawi: Jika Terbukti Politik Uang, Paslon Bisa Terkena Diskualifikasi
MUSI RAWAS, metro7.co.id – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa menindak ‘Sales’ Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang saat ini sedang viral di sejumlah pelaksanaan Pilkada Sumatera Selatan. Hal itu diungkapkan Dedeng Zawawi, Pengamat Hukum, Politik dan Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Sriwiijaya.
“Penindakan ini bisa dilakukan apabila mengandung unsur politik uang. Penegakan hukum bagi pelanggar aturan Pilkada terutama Money Politic ini sanksi yang diatur cukup berat yakni dapat didiskualifikasi secara langsung pada tahapan Pilkada bagi Pasangan Calon (Paslon) yang terbukti melakukan politik uang,” terangnya pada metro7.co.id, Minggu (18/10/2020).
Menurut Dia, sebagaimana ketentuan Pasal 73 jo 135A dan Pasal 187A (ayat 1) Undang-Undang (UU) Nomor (No) 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang.
“Dalam aturan tersebut tidak hanya memberikan, menjanjikan saja yang dapat mempengaruhi penyelenggara dan pemilih sudah masuk unsur pelanggaran Kampanye,” kata Alumni FH UNSRI ini.
Dedeng juga menjelaskan semua unsur baik tim pemenangan (Timses), relawan, pendukung yang melakukan upaya politik uang baik menjanjikan dan memberikan uang atau materi untuk memengaruhi pemilih dapat ditindak dan dikenai sanksi sesuai aturan berlaku.
“Sesuai UU No 10 tahun 2016, jika dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif serta terbukti dilakukan Paslon maka sanksi dapat didiskualifikasi pada pencalonan pemilihan kepala daerah,” jelas Dosen FH UNSRI tersebut.
Dikatakan Mantan Aktivis UNSRI ini, kinerja Bawaslu sesuai dasar hukum pelaksanaan Pilkada diperlukan kecermatan, ketelitian dan kinerja yang maksimal. Karena modus money politik dapat dilakukan bermacam-macam pola untuk menghindari sanksi hukum termasuk modus ‘Sales’ pilkada.
“Kita yakin Bawaslu bekerja dengan kinerja yang baik dalam rangka mewujudkan pilkada yang berkualitas dan bermartabat,” terang Dedeng Zawawi
Dirinya menambahkan bahwa pola penyebaran politik uang dapat menyebabkan para pemilih tersandera akan komitmen untuk memilih pasangan calon yang telah ditentukan.
“Apalagi jika ada komitmen melalui penyerahan atau memberikan berkas atau data penting seperti KTP dan KK ,” papar Dedeng.
Modus lain, lanjutnya, menggunakan semacam sistem lelang. Artinya pasangan si A memberi sejumlah nilai tertentu, maka pasangan lain harus melebihi dalam jumlah yang lebih tinggi, yang digunakan untuk membeli nilai suara pemilih melalui money politic atau politik uang.
Fenomena lain juga calon pemilih memberikan copy berkas ke masing-masing calon, artinya siapapun yang terpilih tidak jadi masalah, yang penting sudah ada pendapatan. hal ini menurutnya adalah pemahaman keliru yang dapat menurunkan kualitas demokrasi.
“Calon terpilih secara kualitas menjadi rendah karena pola tersebut menyuburkan maraknya KKN, dimana calon terpilih jikalau menggunakan dasar money politik yang terstruktur, sistematis dan masif sudah dapat dipastikan berpikir untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan,” beber Dosen Muda FH UNSRI ini.
Terakhir menurut Dedeng, target yang dibidik biasanya adalah kalangan pemilih menengah ke bawah yang dianggap lebih mayoritas dalam jumlah suara selain pemilih instan yang tidak perlu melihat visi misi calon.
Faktor penyebab hal ini, ujar Dia, biasanya karena masih tingginya program-program yang diusung paslon yang sulit terealisasikan sehingga sebatas pada tataran janji-janji kampanye, yang menyebabkan para pemilih menaruh ketidakpercayaan terhadap calon itu sendiri.
“Yang paling penting adalah masih lemahnya penegakan hukum bagi pelanggar aturan Pilkada terutama money politic ini. Padahal sanksi yang diatur cukup berat bagi pelanggar yaitu dapat didiskualifikasi secara langsung pada tahapan Pilkada bagi paslon yang terbukti melakukan politik uang,” pungkas Dedeng Zawawi.