Komodo Butuh Geopark?
Oleh : Sil Joni *)
Negara ini aneh. Anggaran yang fantastis dipakai untuk ‘menata’ istana binatang. Sementara masih banyak warga di republik ini yang tinggal di gubuk-gubuk reot, tidak layak huni. Tetapi, negara rela menggelontorkan dana yang besar untuk mempercantik ‘habitat’ dari biawak purba, Komodo di Pulau Rinca, tepatnya di Loh Buaya.
Padahal, Komodo tidak pernah ‘mendambakan’ bangunan mewah semacam itu. Justru Komodo merasa ‘tidak nyaman’ dengan hunian yang serba modern itu. Geopark itu bukan ‘hunian yang ideal’ bagi Komodo. Tetapi, di mata Pempus geopark adalah sebuah opsi cerdas untuk ‘membahagiakan’ Komodo dan pelbagai satwa endemik lainnya.
Siapa sebenarnya yang membutuhkan ‘geopark’ itu? Apakah ada semacam ‘nilai plus’ ketika geopark itu dibangun? Apakah para calon wisatawan yang datang ke Rinca itu ‘tertarik’ dengan geopark atau ekosistem asli dari binatang Komodo? Apakah ada garansi bahwa keberadaan geopark itu tidak mengganggu Komodo dan aneka satwa langka di sana?
Persoalan yang dihadapi Komodo saat ini adalah semakin ‘berkurangnya’ hewan yang menjadi ‘mangsa utamanya’. Geopark itu bukan sejenis hewan yang bisa mengatasi ‘stok hewan’ buruan Komodo. Saya berpikir jauh lebih arif dan efektif jika Pempus berusaha mengatasi persoalan ‘kerawanan’ pakan dari Komodo, ketimbang membangun sarana dan prasarana (sarpras) mewah.
Semestinya kebijakan yang ditelurkan oleh Pempus menguntungkan bagi Komodo. Pekerjaan besar kita sebetulnya adalah bagaimana agar Komodo tetap survive di tengah perubahan iklim saat ini dan semakin maraknya aksi pencurian satwa di wilayah Taman Nasional Komodo (TNK).
Dengan demikian, membangun sebuah ‘geoparak’ ala Jurassic Park yang ada dalam dunia fiksi itu, bukan sebuah agenda yang urgen dan relevan saat ini. Pempus terlampau ‘terbius’ dengan janji surga yang ditiupkan oleh ideologi neoliberalisme-kapitalisme. Pembangunnan itu dilihat sebagai sebuah ‘investasi’ yang berpotensi mengalirkan keuntungan ekonomi berlipat bagi negara dan juga publik Mabar.
Saya berpikir, desain pembangunan yang berorientasi melayani kepentingan para konglomerat (kapitalis) mesti mempertimbangkan aspek ‘keutuhan ekologi’. Kita tidak bisa menjadikan ‘habitat Komodo’ sebagai sarana untuk memfasilitasi hasrat memburu untung dari segelintir orang semata. Masalahnya adalah Komodo dan pelbagai keunikan lainnya di kawasan itu merupakan ‘aset hidup’ yang rentan punah jika tidak dijaga kelestariannya.
Komodo itu sendiri adalah ‘jaminan’ membludaknya kunjungan wisatawan di daerah ini. Komodo adalah binatang langka, unik, dan karena itu pantas jika masuk dalam kategori ‘binatang super premium’. Kebijakan yang dibuat oleh Pempus mesti berorientasi pada upaya perlindungan yang maksimal terhadap dimensi survivalitas dari binatang itu dan menjaga derajat keseimbangan ekosistemnya.
Karena itu, saya kira, sangat wajar bahkan dilihat sebagai sebuah keharusan ketikan sebagian besar masyarakat saat ini berusaha ‘menentang’ kebijakan tersebut. Berita bagusnya adalah suara protes itu tidak hanya berasal dari Mabar tetapi datang dari berbagai penjuru dunia. Membangun geopark di Loh Buaya sudah menjadi ‘isu publik global’ yang peduli dengan nasib binatang Komodo.
Ruang diskursus publik disemaraki dengan wacana ‘penolakan, penyesalan, dan pengecaman’ terhadap kebijakan politik Pempus itu. Publik sangat menyayangkan sikap Pempus yang dengan ‘tega’ merusak vegetasi bentang alam dan keaslian habitat Komodo di Pulau Rinca dengan ‘memaksakan’ penerapan sentuahan pembangunan yang bercita-rasa modern di Pulau Rinca.
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.