Pilkada dan Politik Uang
Oleh : Sil Joni *)
Political cost dan money politic adalah dua terminologi yang secara teoretis memiliki definisi yang berbeda, tetapi dalam praksis agak sulit dibedakan. Argumen biaya politik kerap dipakai untuk menjustifikasi praktik politik uang. Batasan tentang politik uang begitu cair dan fleksibel sehingga sulit untuk diambil kesimpulan yang definitip.
Kendati demikian, satu hal yang pasti bahwa kita sedang menikmati sebuah sistem demokrasi elektoral yang dikelola menurut ‘kepentingan pasar’. Ketika demokrasi dikendalikan oleh sistem pasar, maka suka tidak suka, kuasa uang menjadi begitu dominan. Rasanya aktivitas atau kerja politik tanpa uang itu, sesuatu yang impossible mission.
Dengan dan melalui ‘uang’, semua agenda politik dari para aktor politik akan dengan mudah termanifestasi. Para kontestan Pilkada tentu tidak kesulitan ‘merekruit’ tim pemenangan dalam jumlah besar dan memberi mereka berbagai fasilitas pendukung untuk memperlancar kegiatan safari politik rutin di tengah para konstituen.
Saya tidak terlalu terkejut ketika salah satu pasangan calon (paslon) atau lebih tepat partai pengusung dari paslon dalam Pilkada Manggarai Barat (Mabar) ‘mendonasikan’ sekitar 30-an unit sepeda motor trail kepada anggota tim pemenangan. Keberadaan fasilitas semacam itu, tentu sangat urgen dan vital untuk ‘menaklukan’ kondisi topografis Mabar yang memang ‘sangat menyeramkan’ ini. Melalui sepeda motor trail itu, anggota tim pemenangan bisa ‘menjangkau’ semua titik-titik paling terisolasi di Mabar.
Apakah pemberian fasilitas mewah seperti sepeda motor dan barang-barang lainnya itu, bisa dikategorikan sebagai ‘politik uang’? Tidak mudah untuk membuat kesimpulan tegas atas pertanyaan itu. Saya sangat yakin kita semua, terutama para pendukung paslon yang bersangkutan akan ‘menepis’ dan membela habis-habisan jika ada yang menilainya sebagai salah satu modus politik uang.
Lepas dari kontroversi soal ‘politik pemberian’ semacam itu, sebuah kontestasi politik tentu membutuhkan ‘modal’ yang tidak sedikit. Kapital politik itu akan dipamerkan secara gamblang dalam ruang publik berupa ‘fasilitas, sarana, barang, dan uang’ yang sangat dibutuhkan dalam ‘membiayai semua’ kegiatan politik. Pesta politik seperti Pilkada, dengan demikian, menjadi ajang kekuatan finansial dari para ‘pemain’ yang berlaga memperebutkan kursi kekuasaan.
Ada banyak analisis akademis-teoretis soal maraknya politik uang dalam kontestasi politik. Burhanuddin Muhtadi pada Juni 2020 merilis disertasi yang diterbitkan menjadi buku berjudul Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca Orde Baru (KPG,2020). Apa yang menarik dari buku ini.
Pertama, buku ini menawarkan mistik, sebuah hal tidak lazim. Kita negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, namun dengan enteng, negara di Asia Tengara yang mudah mengakui politik uang dibandingkan negara lain. Politik uang itu memwujud dalam aneka modus.
Kedua, politik uang terpapar pada pemilih yang merasa dekat dengan partai daripada yang tidak dekat dengan partai. Ini menjadi misteri. Sebab umumnya, pemilih yang merasa dekat dengan partai tentu tidak perlu dibujuk dengan uang. Ia loyal memilih partai. Riset Muhtadi menunjukan sebaliknya.
Akumulasi pengetahuan tentang ‘bahaya politik’ uang, ternyata tak berbanding lurus dengan trend minimalisnya penggunaan uang dalam Pilkada. Kedati kita tahu bahwa politik uang mengotori demokrasi. Suara aspiratif terpasung. Rakyat yang bersedia menerima uang dan material lainnya akan tergadai selama lima tahun. Negara disandera. Tetapi, kita tetap ‘tergiur’ untuk menerapkan politik uang dan mau menjadi ‘korban’ dari politik semacam itu.
Padahal, politik uang memicu pula penyakit lainnya. Korupsi dan jual beli jabatan marak. Sebab, logika balik modal, bekerja di antara mesin politik uang. Bukan tidak mungkin ‘paslon yang terpilih’ akan berjuang sekuat tenaga untuk ‘mengembalikan’ modal politik yang sudah tergerus selama musim Pilkada.
Intinya, politik uang dilarang, tapi sukar dihapuskan karena ada perkawinan silang antara pasar politik uang (supply dan demand) serta rendahnya risiko sanksi yang dihadapi.
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.