Hijrah dan Peradaban Islam
Awal kejayaan umat Islam sebagai titik balik sejarah, dimulai sejak generasi pertama di bawah kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW, terutama setelah melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah.
Pelajaran utama dari perjalanan Hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya adalah proses peletakan cikal bakal sebuah entitas peradaban. Hal ini terlihat dari pelaksanaan tiga langkah strategis sebagai pondasi utama yang kemudian menjadi asas dalam pembentukan prototipe masyarakat Islam, yaitu:
Pertama: Membangun Masjid (Pertama membangun Masjid Quba’, selanjutnya membangun Masjid Nabawi Al-Syarif) di Madinah sebagai bangunan pertama dalam risalah kenabian. Rasulullah SAW mengoptimalkan fungsi masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah mahdah saja (sholat, membaca Al Quran, berzikir, i’tikaf), tetapi juga sebagai tempat berbagai aktivitas keumatan/ghairu mahdah, yaitu difungsikan sebagai ma’had: pusat dakwah, pusat pendidikan dan pengajaran; sebagai mahkamah: tempat mengadili para pihak yang bersengketa dan tempat penyelesaian masalah; tempat prajurit muslim berkumpul sebelum memulai perjuangan, tempat mengatur strategi peperangan; pusat penerangan dan informasi kepada masyarakat; pusat kegiatan sosial, ekonomi dan politik; serta tempat bermusyawarah. Hal ini memperlihatkan bahwa masjid dalam Islam mempunyai misi yang dapat diwujudkan dalam berbagai aspek guna membentuk kehidupan Islami.
Kedua: Membangun persaudaraan (ukhuwwah) antara Muhajirin dan Anshar, sehingga terjadilah takaful ijtima’i (jaminan sosial, solidaritas, sepenanggungan, saling tolong-menolong). Persaudaraan yang dibangun Rasululah SAW adalah berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan kesukuan yang berjalan sebelum itu. Melalui semangat itu, Rasulullah SAW berhasil membangun kota Madinah dalam sebuah entitas yang penuh kedamaian, keamanan, adil dan sejahtera, padahal sebelumnya telah terjadi konflik sangat sengit yang berlangsung sejak lama (sekira 120 tahun) antara dua suku (qabilah) besar, yaitu Aus dan Khazraj. Adanya kepercayaan sosial dari masyarakat Madinah kepada Muhammad SAW, berhasil mengantarkan pada upaya membangun loyalitas publik;
Ketiga: Menyusun perjanjian (dustur) dengan ditandatanganinya Piagam Madinah sebagai regulasi tata kehidupan yang plural, baik antara kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) di satu pihak, maupun antara kaum muslimin dengan umat-umat lainnya (termasuk Yahudi) di pihak lain yang menjelaskan berbagai hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dalam konteks ketatanegaraan sekarang ini, Piagam Madinah tersebut merupakan dokumen politik berupa konstitusi. Pengakuan atas keberagaman berbagai golongan dan komponen masyarakat sangat terlihat dalam konstitusi tersebut. Penyebutan secara eksplisit golongan Yahudi serta berbagai kabilah lainnya yang memiliki kewajiban mempertahankan keamanan Madinah dari serangan luar, telah menjadi perwujudan stabilitas politik dan keamanan Madinah. Secara substansial, telah merangkum berbagai prinsip dan nilai moral yang tinggi berupa keadilan, kepemimpinan, musyawarah; persamaan; persaudaraan; persatuan; kemerdekaan dan toleransi beragama; perdamaian; tolong-menolong dan membela para pihak yang teraniaya. Konstitusi tersebut merupakan proklamasi bagi kelahiran sebuah Negara dan Pemerintahan, di mana disebutkan bahwa hak otoritas kepemimpinan diberikan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan demikian, Rasulullah SAW berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Tidak semua Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT langsung memerintah dan menjadi Kepala Negara, tetapi Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin pergerakan dan pemimpin politik berdasarkan Nubuwah dan Risalah. Ajaran yang diterimanya dari Allah SWT ditujukan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Pemerintahan yang berdiri di Madinah jika dibandingkan dengan yang dianut oleh Persia, Romawi, Ethiopia (Habsyah) maupun yang lainnya pada masa itu, merupakan pemerintahan termodern, baik dalam segi Undang-Undang, sistem sosial dan kemasyarakatan, serta dalam bentuk maupun susunannya.
Di bawah kepemimpinan dan suri tauladan Rasulullah SAW, walaupun beliau bukan orang asli Madinah, akan tetapi karena secara pribadi beliau memiliki kredibilitas serta komitmen yang kuat untuk melakukan perubahan dan pembaruan, akhirnya berhasil melakukan transformasi struktural maupun kultural dalam membangun Madinah ke arah yang lebih mengedepankan nilai-nilai akhlak; menegakkan supremasi hukum serta terbuka melalui kesantunan berpolitik. Upaya sinergitas dalam membangun juga berhasil dilakukannya, sehingga terjalinlah kebersamaan dalam mewujudkan persatuan antar stakeholder. Kita dapat melihat dalam sejarah, bahwa komitmen kuat dari Rasulullah SAW selanjutnya mendapatkan dukungan yang kuat pula dari publik. Pondasi ketiga yang dibangun ini memperlihatkan kepada kita bahwa Rasulullah SAW sangat peduli pada semangat membangun kebersamaan dari berbagai komponen masyarakat yang majemuk (plural) dalam membangun kota Madinah.
Besarnya perhatian Islam terhadap peradaban, dapat disimak pula dari korelasi yang kuat antara terminologi peradaban dengan akhlaq, di mana akhlak merupakan misi utama diutusnya Rasulullah Muhammad SAW ke muka bumi. Sebagaimana yang disabdakannya melalui beberapa hadits, di antaranya Riwayat Bukhari, Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah bahwa : “Sesungguhnya aku (Muhammad Saw) diutus Allah untuk menyempurnakan akhlaq”. Dengan demikian, menyempurnakan akhlak berarti pula membangun sebuah peradaban Islam.
Peradaban Islam yang dibangun Rasulullah SAW adalah suatu peradaban yang memberikan rahmat, kasih sayang, kedamaian kepada semua alam, bukan hanya manusia saja akan tetapi seluruh makhluk ciptaan Allah SWT juga merasakan kasih-sayangnya. Hal ini sangat berkesesuaian dengan salah satu pengertian Islam, yaitu Silmun (kedamaian).
Rahmat dan kasih sayang yang dibangun oleh Islam, sebagaimana ditegaskan Al Quran Surat Al Anbiya ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. ***