Membaca Tubuh ABU dan PAMBAKSA
Menjadi penari adalah sebuah pilihan. Tidak ada yang boleh menghalangi, bahkan tubuh sendiri pun.
Persoalan etika? Itu sering berbenturan dengan kebutuhan estetika. Sampai ada yang menyebut ‘korban estetika’.
Kanal youtube milik UPTD Taman Budaya Kalimantan Selatan pada Kamis (17/8/2021) lalu menyuguhkan dua karya visual, PAMBAKSA dari Sarmila Sarbaini dan ABU dari Abib Igal. Keduanya adalah karya tari yang digarap untuk kebutuhan visual elektronik, bukan sekadar dokumentasi pagelaran. Namun, nuansa panggung pertunjukkan, khususnya Gedung Balairungsari Taman Budaya Kalsel, tidak ditinggalkan. Pengambilan gambar dilakukan di panggung keramat Balairungsari itu.
ABU, tampil pertama. Tidak ada musik dari alat musik di garapan tersebut. Para penari (semua laki-laki), juga dituntut untuk mengeluarkan suara-suara yang merdu. Kadang, menghentak seperti para ‘balian’ saat ‘aruh’ di ‘balai’, sehingga muncul seperti musik di situ.
Layar youtube diawali dengan suasana pagi sekali, cahaya dominan mengeluarkan warna kalem. Begitu juga warna kain yang menutup tubuh pemain ABU yang sambil bersyair itu. Selebihnya, siaran itu masih bisa diputar ulang di akun youtube Taman Budaya Kalsel. Judulnya, ‘Pertunjukan Tari kontemporer “Membaca Tubuh”’.
Abib bilang, ABU hanya petilan dari sebuah konsep yang disiapkannya lebih utuh. Judulnya, ANTAH. Tapi, Abib belum memastikan kapan waktu penayangan dan akun youtube siapa penyiarnya. “Nantikan saja,” ujarnya.
Tapi, ABU cukup menjelaskan, karya itu berisi pesan tentang kegelisahan senimannya. ABU tidak hanya menyajikan suasana dari pagi hingga larut malam. “Terutama ‘tubuh ritual’ yang kuyakini membangun tubuh tari-ku hari ini,” kata Abib.
Menonton ABU juga terasa berpelesir menyisir sungai Barito dari muara hingga bagian hulu. Masuk ke anak-anak sungainya. Bahkan juga naik ke atas pegunungan.
Hentakan dan senandung dari pemain ABU, yang tidak dibalut sumber bunyi dari alat musik konvensional itu, juga membawa suasana-suasana ritual. Tidak cuma mistik, tapi juga khusyuk.
Tayangan kedua, PAMBAKSA. Seperti karya Sarmila sebelumnya, sebut saja AGAMAN RISTA, sarat akan kegetiran. Musik yang meneror.
PAMBAKSA menampilkan empat penari wanita. Masing-masing punya postur tubuh berbeda.
Menurut Sarmila, PAMBAKSA itu maksudnya adalah penari. Jelas, ini berkisah soal penari. Empat PAMBAKSA itu tak ada memberikan senyum sedikit pun. Gerakannya pun terlihat sangat menguras tenaga.
“Orang kebanyakan hanya melihat penari itu dari tubuhnya saja,” begitu kata Sarmila.
Selain itu, banyak tarian, kata Sarmila, yang kehilangan nilai-nilai. Masalah ini juga berangkat dari pandangan instan ‘penari=tubuh indah’ saja. Gerakan PAMBAKSA adalah getaran yang keluar dari kegelisahan itu.
Kursi penonton yang kosong. Itulah latar panggung yang digunakan PAMBAKSA. Ini seakan bermakna ganda, penonton yang hilang karena pandemi, atau kegelisahan PAMBAKSA yang tidak ada yang mau melihatnya.[]