Oleh: Launa, SIP MM

ANAS URBANINGRUM tersingkir! Demikian headline berita yang ramai ditulis media masa nasional dalam satu pekan terakhir. Dasarnya adalah poin ketujuh (dari delapan poin rumusan Cikeas) yang disampaikan SBY di Puri Cikeas, Jumat (8/2) lalu, di hadapan anggota majelis tinggi, dewan pembina, dewan kehormatan, dan pucuk pimpinan Partai Demokrat (PD) lain serta puluhan wartawan dalam dan luar negeri.
Poin ketujuh rumusan Cikeas ‘versi SBY’ menjadi pesan tegas ‘pemeretelan’ otoritas dan kendali Anas di PD. Anas diminta SBY fokus pada dugaan masalah hukum yang kasusnya kini tengah ditangani KPK; dan untuk ‘sementara’ kendali PD di-take over SBY (Ketua Majelis Tinggi), demi penyelamatan citra partai yang terus memburuk.
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut, tingkat keterpilihan (elektabilitas) PD yang terjun bebas ke angka 8 persen, adalah dasar yang menjadi kegusaran SBY dan para elite Demokrat (anti Anas), sekaligus amunisi ampuh untuk ‘memereteli’ kewenangan Anas di PD.
Padahal, pada pemilu legislatif 2004, PD mengawali debut politik dengan raihan suara 8.455.225 (7,45 persen), setara dengan 57 kursi di DPR, dan melonjak tajam menjadi 21.703.137 suara (20,4 persen) pada pemilu legislatif 2009, setara dengan 150 kursi di DPR.
Bersih-bersih Demokrat yang dipimpin langsung SBY tak berhenti disitu. Satu hari berikutnya, SBY selaku ketua majelis tinggi PD, memanggil 33 DPD untuk menandatangani fakta integritas. Ini dianggap urgent oleh SBY, untuk memastikan tak ada pembangkangan dan pelanggaran hukum lagi, mengingat begitu banyak kader PD yang terjerat kasus korupsi.
Penandatangan fakta integratis sebagai bentuk komitmen ini, menjadi rambu tegas, bahwa setiap pimpinan dan kader PD (khususnya yang duduk di lembaga eksekutif dan legislatif) harus menjauhi korupsi, menghindari perbuatan tercela, mengedepankan etika dalam berpolitik (bersih-cerdas-santun) serta siap bekerja keras demi kemajuan bangsa dan negara.
Langkah berikut, SBY memerintahkan Fraksi PD di DPR RI untuk merombak personil PD di Badan Anggaran (Banggar) yang sejak lama dicurigai publik sebagai ‘sarang penyamun’. SBY menyadari, bahwa kasus korupsi yang menjerat Nazaruddin, Anggelina Sondakh, dan Menpora Andi Mallarangeng serta sengkarut ‘sertifikat’ tanah proyek Hambalang yang ‘aneh’, tak bisa dilepaskan dari ‘kongkalingkong’ para kadernya di DPR dan Banggar.
Pertanyaan spekulatifnya, apakah bersih-bersih Demokrat yang kini berada di bawah komando SBY telah menjadi babak akhir dari lakon politik Anas; yang dituding sebagai ‘penyandera’ Demokrat yang berujung pada hancurnya citra partai di mata publik?

Potensi Perlawanan Anas
Dalam teori semiotika, perlawanan politik sesungguhnya dapat dilihat/diraba melalui indikasi pemaknaan tanda, simbol atau lambang yang digunakan. Dalam konteks komunikasi politik, tanda/simbol/lambang ‘perlawanan’ yang digunakan Anas terkait ‘pemeretelan’ otoritasnya oleh SBY sesungguhnya tampak jelas.
Pertanda (signified) dan penanda (signifier) yang menghubungkan indikasi perlawanan Anas dalam wacana semiotika tegas terlihat. Yang samar (atau yagn ada di balik makna) adalah ‘cara’ kerja perlawanan Anas, karena Anas adalah politisi santun yang berlatar kultur Jawa.
Indikasi perlawanan Anas terhadap SBY telah tampak saat Anas, ketika diwawancarai wartawan, mengatakan bahwa kocar-kacirnya citra Demokrat tak cuma akibat kasus korupsi yang memang membelit banyak kadernya, namun juga tak bisa dilepaskan dari penurunan kinerja pemerintahan SBY. Statement Anas, memang bukan tanpa bukti.
Pertama, Hasil sigi Lembaga Survei Indonesia (LSI) memang menunjukkan, publik kecewa terhadap kinerka kepemimpinan SBY. Survei yang dipublikasi pada Selasa (29/1) lalu menyebut, 57,7 persen responden menyatakan tidak puas terhadap kepemimpinan SBY. Hanya 35,9 persen yang menyatakan puas, sisanya (6,3 persen) tidak menjawab (Suara Karya, 30/1/13).
Kedua, seperti dilansir banyak media, Anas juga membantah ‘penonaktifan dirinya’ sebagai ketua umum PD. Ia berpegang kepada isi pidato SBY yang mengatakan dirinya masih tetap sebagai ketua umum dan wakil ketua majelis tinggi PD (Rakyatmerdeka.com, 9/2/13).
Ketiga, dalam status Blackberry massanger-nya, Anas menulis dua ‘penanda’ yang memberi ‘pertanda’ politik perlawanan: ‘politik para sengkuni’ dan ‘ojo dumeh’ (yang dalam bahasa Jawa bermakna jangan mentang-mentang). Kendati masih terkesan ‘hati-hati’, namun pesan Anas kepada para loyalis dan pendukungnya sangat transparan, yaitu: ‘lawan!’ (Rakyatmerdeka.com, Sabtu, 9 Februari 2013).
Keempat, saat SBY mengundang 33 DPD PD seluruh Indonesia untuk mendapat arahan dan menandatangani fakta integritas di Cikeas, Anas tampak tak hadir. Alasan yang disampaikan SBY kepada wartawan, Anas tak hadir lantaran sakit. Bukankah pada malam yang sama Anas juga melakukan konsolidasi di rumahnya bersama para kader muda dan sejumlah pimpinan DPD dan DPC PD yang dikenal begitu loyal pada Anas?
‘Rapat tandingan’ Anas ini memberikan pesan kuat, bahwa Anas juga bisa ‘show of fore’ alias unjuk gigi. Seakan, Anas ingin menunjukkan bahwa dirinya juga memiliki pengaruh di Demokrat, setidaknya dari ‘akar rumput’ yang memang rajin disambanginya.
Kelima, pasca ‘pemeretelan’ otoritasnya di PD pada Jum’at malam (8/2), keesokan harinya, Anas dengan santai tetap datang ke Lebak untuk meresmikan kepengurusan Pengurus Anak Cabang (PAC) PD se-Kabupaten Lebak, Banten, pada Sabtu (9/2). Dalam konteks semiotika, ini berarti, tak ada secuil pun rasa was was dalam diri Anas yang tetap menganggap dirinya sebagai Ketua Umum PD, de jure dan de facto.
Keenam, Anas bukanlah sosok politisi ‘setengah matang’ yang mudah diintimidasi. Anas adalah anak muda yang telah malang melintang dan merintis karir organisasi dan politik dari bawah. Anas telah teruji, ketika ia mampu merebut posisi sebagai Ketua HMI, organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia.
Anas telah menapak proses politik panjang yang menjadi modalnya dalam mengorganisir PD saat ini. Anas seperti juga Akbar Tandjung, Ferry Mursyidan Baldan, Harry Azhar Azis, dan sejumlah mantan pemimpin HMI lainnya adalah orang yang telah melewati pendidikan politik dan pengalaman berorganisasi yang solid.
Kendati Anas (dan koleganya, Andi Mallarangeng) adalah pendatang baru di PD, dan ia tak berada di sekitar SBY ketika PD digagas dan dibangun, namun Anas memiliki modal politik, jaringan sosial, dan kapasitas intelektual di atas rata-rata kader PD yang menjadi loyalis SBY.
Itulah penjelasan mengapa Anas bukan saja memenangi kepemimpinan PD, melainkan dalam waktu singkat juga berhasil mengonsolidasikan kontrolnya atas partai yang didirikan SBY itu. Sebab, hampir semua tokoh senior PD adalah politisi dadakan, yang tak ‘sematang’ Anas.
Itulah penjelasan mengapa para senior PD memohon SBY turun tangan menghadapi Anas. Menteri Syarifuddin Hasan, seorang pemimpin PD, menyatakan secara meyakinkan di depan kamera TV, “Partai Demokrat adalah SBY, dan atas dasar itu Bapak Presiden dimohon turun tangan menyelamatkan partai dari ancaman kemerosotan elektabilitas.”
Sadar akan kekuatan Anas sebagai politikus dan organisatoris berpengalaman, SBY perlu waktu lama sebelum tiba pada keputusan melucuti Anas. Untuk waktu lama SBY terlihat enggan bertindak, karena ia pasti menghitung kekuatan besar Anas.
SBY terpaksa turun tangan karena tak seorang pun tokoh PD sanggup menghadapi Anas. Meski untuk tindakan demikian SBY mendapat kecaman banyak pihak karena mengurusi partainya, setelah menganjurkan anggota kabinetnya berkonsentrasi pada urusan mereka sebagai menteri, tidak menguras waktu dan energinya untuk urusan partai.
Yang pasti, kegagalan PD dalam menyelamatkan citra partai (termasuk penataan dan penertiban organisasi) akibat ketidaksigapan SBY dan jajaran elite PD dalam menangkap momentum dan menggerakan perubahan mendasar.
Sebagai juru selamat, musuh SBY saat ini adalah waktu. Bisakah dalam waktu singkat keterpurukan elektabilitas PD diatasi? Ketika SBY tak lagi maju sebagai capres, sementara partainya sedang terimpit belitan kasus korupsi, apakah SBY punya energi ekstra memulihkan citra PD dan bersih-bersih di partainya dalam waktu singkat? (Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia; Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama) (analisadaily)