Oleh: Heru Wicaksono
Dibanding Pemilu nasional tahun 2004, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang berlangsung belakangan, ternyata lebih ricuh dan rusuh. Kerusuhan Pilkada di hampir setiap pelaksanaan di daerah, menarik perhatian. Karena Pilkada diwarnai protes, unjuk rasa, dan bentrokan terjadi di banyak tempat. Masuk akal jika minta perhatian masyarakat umum, masyarakat politik, dan pemerintah.

Alasan, sebab protes, kerusuhan, dan bentrokan itu hampir-hampir klasik, ya itu-itu juga, yakni tuduhan terjadinya kecurangan dan pelanggaran hukum. Penghitungan suara dinilai oleh salah satu pasangan cela, digelembungkan, direkayasa. Panwaslu, panitia pengawasan Pilkada, tidak independen dan netral. Bahkan KPUD, Komisi Pemilihan Umum Daerah, pun digugat. Protes muncul disertai unjuk rasa.
Mungkin benar bahwa salah satu penyebab terjadinya kerusuhan Pilkada adalah ketidaksiapan kontestan dan para pendukungnya dalam menerima kekalahan. Dangkalnya rasionalitas para pendukung menjadikan amarah berkembang menjadi amuk massa. Prinsip “Pokoknya”, menjadi satu-satunya pegangan. Dukungan yang membabi buta menyebabkan munculnya ketidakmampuan menerima kekalahan.
Dalam kurun waktu yang panjang, budaya politik di Indonesia identik dengan kekerasan, pemaksaan kehendak yang berdasarkan konsep “Pokoknya”. Hal ini sangat terkait dengan corak budaya politik yang berkembang, yaitu kuatnya kehendak melakukan monopoli dan hegemoni kebenaran oleh kalangan elite dan pimpinan, serta suburnya sikap dan tingkah laku emosional-primordial di kalangan masyarakat lapis bawah (grass root).
Tentunya, budaya politik tersebut tidak mencerminkan suatu budaya politik yang modern di Indonesia. Bahkan menjadikan politik di Indonesia tidak berkembang secara cerdas, etis, bermoral dan santun. Budaya politik justru mengarah kepada situasi politik yang penuh intrik dan akal-akalan, bahkan kekerasan.
Fenomena kerusuhan, menunjukkan rendahnya kualitas sportifitas peserta Pilkada. Bukan hanya para kandidat yang berlaga, tapi juga seluruh tim sukses para pendukungnya. Itu artinya, makna mendasar dari demokrasi, belum dipahami dengan benar.
Pilkada merupakan implementasi kedaulatan rakyat. Jadi, masyarakat yang menentukan kecenderungan dari proses politik tersebut. Karena rakyat yang menentukan arah dan siapa pemimpin yang nantinya akan memimpin daerahnya, maka harus dipahami bahwa rakyat ikut Pilkada bukan hanya ingin melaksanakan hak dan kewajiban semata. Yang paling penting adalah mereka ingin mencari pemimpin yang lebih baik. Oleh karena itu, untuk menghentikan fenomena yang memprihatinkan ini, diperlukan penguatan demokrasi di tingkat akar rumput. Sasarannya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membaca dinamika politik di daerahnya. Dengan demikian, masyarakat tidak akan terseret berbagai arus menuju anarkisme. Sejatinya, demokrasi harus bermanfaat dan menciptakan perdamaian, bukan konflik yang berujung pada kericuhan dan kerusuhan. Kerenanya pelaksanaan Pilkada sangat penting untuk mencapai tujuan demokrasi, yaitu kesejahteraan.
Dampak pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau Pilkada secara langsung di Indonesia, semakin mengkhawatirkan. Tak hanya gesekan yang terjadi di lapangan antarpendukung calon peserta Pilkada langsung, tapi baku-hantam, bentrokan massa, dan pembakaran-pembakaran fasilitas umum mewarnai pemilihan itu.
Tercatat di beberapa kota dan daerah pelaksanaan, Pilkadanya rusuh. Pemicunya terkadang hanya oleh isu sepele yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika isu itu berkembang, maka bentrokan antarpendukung calon kepala daerah tak bisa dihindari. Kota atau daerah yang awalnya terlihat tenteram dan damai, tiba-tiba saja bergolak karena Pilkada. Ironisnya, yang terlibat bentrokan adalah rakyat di tataran bawah.
Massa benar-benar tersulut gara-gara Pilkada langsung yang konon mengusung azas demokrasi. Jika Pilkada yang telah menghabiskan banyak biaya, pikiran, tenaga, dan pengorbanan rakyat; kemudian menghasilkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas, masihlah bisa diberi toleransi. Tapi bagaimana kenyataannya? Benarkah pemimpin yang telah menduduki posisinya itu memperjuangkan nasib rakyat? Kok, tampaknya ambisi memperoleh jabatan dan kedudukanlah yang lebih mengemuka.
Pertanyaan seperti itu harus memperoleh jawaban, terutama dari mereka yang telah memenangkan Pilkada langsung. Paling tidak, mereka yang telah terpilih, harus mawas-diri. Apakah dirinya memang sanggup menjadi pemimpin yang baik dan memperjuangkan nasib rakyat atau tidak? Jangan sampai keberhasilannya itu hanya untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, dan golongan. Sementara rakyat yang telah memberikan dukungan, justru diabaikan.
Demikian pula bagi mereka yang akan maju ke arena Pilkada langsung. Harus berani bertanya dan mengukur diri, sanggupkah melaksanakan amanah yang diberikan oleh rakyatnya jika kelak terpilih?
Jika ambisi dan anarki yang terus terjadi, tentu ini semakin mengkhawatirkan bagi negara kita. Dengan banyaknya contoh kasus selama ini, apakah pelaksanaan Pilkada secara langsung di Indonesia akan dilanjutkan? Sebab, ratusan daerah di Indonesia sedang dan bersiap-siap melaksanakan Pilkada secara langsung. Artinya, bisa hampir setiap hari di Indonesia ada pelaksanaan Pilkada.
Jika Pilkada itu tak berbuntut anarki, tentu tidaklah mengkhawatirkan. Tapi jika rusuh dan anarki sepanjang tahun tak bisa dihindari, kapan Indonesia bisa bangkit kembali? Karena energi bangsa yang seharusnya bisa untuk menggerakkan roda-roda pembangunan dan perekonomian, seluruhnya ludes hanya untuk Pilkada langsung. Sementara, mereka yang terpilih juga belum tentu bisa memberikan arti bagi rakyat banyak.
Itulah kenyataan memprihatinkan yang terjadi di negara kita. Sampai kapan akan terus terjadi? Apakah ekses pelaksanaan Pilkada langsung yang membawa kemudharatan itu sudah dikaji lebih lanjut? Wallahualam.