Sekelompok remaja putra menggunakan sarung dan kopiah berkeliling kampung seraya memukul aneka peralatan dapur, seperti panci, wajan, ember, cangkul, dan jerigen hingga mengeluarkan bunyi berirama.
Sesekali mereka bersuara “Sahuuuuur, sahuuuuur,” begitulah kebiasaan anak muda di beberapa desa provinsi Kalimantan Selatan saat bulan Ramadhan.
Kegiatan yang disebut “Bagarakan” (membangunkan orang tidur) tersebut sudah terbiasa dilakukan remaja putra saat membangunkan warga muslim yang ingin makan sahur.
Karenanya bagarakan hanya untuk membangunkan warga makan sahur, maka kegiatan itu dilakukan setelah waktu menunjukkan pukul 02:00 dini hari hingga imsak.
Bagarakan saat sahur ini merupakan hiburan tersendiri bagi anak muda di desa, karena itu tak pernah dilewatkan kegiatan tersebut saat Ramadhan,” kata Mahlan (60) tokoh masyarakat Desa Inan Kecamatan Paringin Selatan, Kabupaten Balangan.
Menurutnya, sewaktu masih remaja dulu tahun 60-an pernah membentuk sebuah grup bagarakan sahur di kampungnya.
Grup mereka tersebut hampir setiap malam melakukan kegiatan dari kampung ke kampung.
Saat itu, bukan hanya peralatan dapur yang menjadi media bunyi-bunyian, tetapi ada juga yang memanfaatkan biola, babun dan gong yang mengalunkan irama seni tradisi suku Banjar.
Kala itu, hampir semua kampung di wilayah kaki Pegunungan Meratus tersebut membentuk grup bagarakan, mereka umumnya menyebutnya sebagai grup “Pargum” (Persatuan Guring Malandau).
Antara grup kampung yang satu dengan kampung yang lain selalu berusahamenampilkan yang terbaik, artinya dengan peralatan bunyi-bunyian yang lebih baik dan enak didengar.
Bahkan antar grup menampilkan juga atraksi lain, seperti tari-tarian, seni “Kuntaw” (semacam pencak silat), kuda Gepang, dan atraksi seni tradisi lainnya seperti lamut, madihin,atau kasidahan.
“Bahkan yang lebih seru lagi, bagarakan tidak hanya dilakukan satu grup di kampung itu saja, tetapi melibatkan juga orang tua di kampung, seperti dalam acara “Bapangantinan” (kawin-kawinan tiruan),” kata Mahlan.
Sebab, katanya lagi, pada era tersebut acara bagarakan sahur dilakukan “Bahaharatan” (adu hebat) antara kampung yang satu dengan kampung lain yang dilakukan secara bergantian.
Artinya, bila malam ini kampung yang satu melakukan pergelaran ke kampung yang lain, maka malam berikutnya kampung yang lain itu harus membalasnya dengan menampilkan atraksi bagarakan ke kampung yang melakukan pergelaran bagarakan terdahulu, begitu seterusnya balas berbalas.
Akibatnya, grup yang satu berusaha menyajikan acara bagarakan lebih semarak, maka tak jarang bagarakan sahur tak sebatas membunyikan peralatan dapur, tetapi sudah merupakan bentuk atraksi seni hiburan rakyat di saat Ramadhan.
Bahkan pernah katanya, ada satu kampung membalas pertunjukan hiburan tersebut setelah lebaran, hanya untuk membalas saat Ramadhan yang waktunya sudah keburu habis.
“Seperti atraksi seni “Naga-naga-an” yang dilakukan oleh warga Pandam Kecamatan Awayan untuk membalas grup pemuda Inan Kecamatan Paringin, pada sekitar tahun 65-an,” tuturnya sambil tersenyum.
Menurut pengamatannya, bagarakan sahur ini masih terus berkembang hingga awal tahun 90-an, bahkan terakhir memanfaatkan peralatan elekrtonik, seperti karaoke, atau pergelaran orkes dangdut.
Tetapi tambahnya, setelah waktu terus berlalu maka hiburan bagarakan sahur mulai awal tahun 90-an hingga tahun 2000-an kian terlupakan, walaupun masih terdengar hanya dalam skala kecil.
Perkembangan itu setelah berbagai cara untuk memudahnya  membangunkan warga untuk makan sahur, antara lain melalu pengeras suara di surau atau masjid, atau warga sudah terbiasa menggunakan bunyi alarm di handpone pribadi. Metro7/usy