“Kalo nggak ngerti, yo cari di google aja,” ujar seorang peserta yang langsung dijawab rekannya. “Ngetik sms aj aku nggak bisa, apalagi nyari di google,” ujarnya yang memantik gelak tawa. Perbincangan khas para ibu yang spontan dan mengalir apa adanya, mewarnai pelatihan budidaya jamur tiram siang itu, Selasa (17/3).

Sepuluh orang dari Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (KMPL), asal Desa Masingai 2, Upau, Tabalong, yang memang didominasi para ibu ini, antusias mengikuti pelatihan pamungkas, dari lima hari pelaksanaan yang berlangsung di rumah ‘jamur’ Trisno, pembudidaya jamur tiram di Belimbing, Murang Pudak, Tabalong.
Pada hari terakhir pelatihan tersebut, peserta diajak untuk mempraktikkan secara langsung, penanaman benih jamur dalam log (media tanam jamur), dengan menjaga semua kondisi tetap steril. “Karena akan sangat berpengaruh pada keberhasilan pertumbuhan jamur,” ujarnya.
Menurut Trisno, budidaya jamur tiram sedianya bukan hal sulit untuk dicoba, yang penting punya kemauan untuk terus belajar, dan tekun menggelutinya. Karena pangsa pasarnya cukup menjanjikan.
Untuk wilayah Tabalong sendiri, konsumen jamur tiram terus meningkat. Trisno menjelaskan, dalam sehari saja, ia mampu menjual sebanyak 20 Kilogram jamur budidayanya. Dengan harga jual per kilonya senilai Rp 30,000, Trisno bisa meraup keuntungan kotor sebesar Rp 600,000. “Modal per kilonya hanya Rp 6,000,” ujar Trisno.

Kemampuan untuk terus memperbaharui penguasaan teknologi budidaya jamur yang terus berkembang, juga menjadi keharusan untuk menuai sukses. Budidaya jamur yang terus diminati banyak kalangan, tentu mendorong hadirnya inovasi baru dalam upaya penanamannya.
Bagi Titiek Maryati, seorang peserta pelatihan, ketertarikan untuk melakukan budidaya jamur tiram, muncul usai diskusi bersama anggota KMPL lainnya. “Kami sudah melakukan upaya bercocok tanam dengan pola organik, dan cukup berhasil, meski hanya skala kecil. Ketika muncul usulan untuk mencoba budidaya jamur tiram, saya pikir kenapa tidak, karena keuntungannya lumayan besar,” ujarnya.
Namun, saat memulai pelatihan, Titiek mengaku sempat pesimis, karena budidaya jamur tiram tak semudah yang dibayangkannya. Perlu tingkat ketelitian yang cukup tinggi untuk memastikan media tanam dan proses penanaman benih jamur bisa tumbuh.
Hari berganti, perlahan Titiek dan sejumlah rekannya, mulai memahami tata cara budidaya. Pada hari terakhir pelatihan, semangat untuk mencoba budidaya jamur tiram, kembali menyembul.
Menurut Section Head Bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Lingkungan pada CSR Department PT Adaro Indonesia, Sri Armiyati Jarkasyi, pelatihan budidaya jamur tiram yang melibatkan KMPL ini, merupakan program lanjutan dari inisiasi Program Kampung Iklim di Desa Masingai 2.
Kampung Iklim yang diluncurkan pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup ini, bertujuan untuk membentuk pemahaman dan perilaku warga dalam upaya melawan perubahan iklim, melalui kegiatan yang berskala rumahan.
Program ini lantas disambut oleh CSR Adaro dengan pilot project awal di Masingai. Lantas, kenapa para ibu yang menjadi pilihan? Sri Armiyati menjelaskan, bahwa pilihan tersebut sekaligus menjembatani upaya mendorong hadirnya kesetaraan gender.
Melalui program kampung iklim inilah, kemudian terbentuk KMPL dengan anggota sebanyak 25 orang. Secara bertahap, mereka diperkenalkan dengan pola pertanian organik berupa sayuran dan tanaman obat keluarga, dengan area tanam di sekitar pekarangan rumah.
Hasilnya, tanaman yang dipanen punya umur lebih panjang dari model tanaman nonorganik, tanpa harus diawetkan. Keberhasilan ini, mampu menstimulus mereka untuk lebih berkembang. Melalui diskusi kelompok yang rutin digelar KMPL, terbersit ide untuk mencoba budidaya jamur tiram.
Pertimbangannya, selain untuk memandirikan Organisasi secara finansial, juga untuk menambah penghasilan keluarga, ditengah melorotnya harga karet yang selama ini menjadi sandaran hidup warga Masingai 2.
 Kedepan, Sri Armiyati berharap, KMPL terus berkembang dan mampu menghadirkan beragam usaha komunal, yang tidak hanya berdampak secara ekonomi bagi kelompok tersebut, namun juga mampu menjadi contoh bagi kelompok masyarakat lainnya untuk mencoba melakukan hal yang sama.  (humas /adaro)