BANJARMASIN, metro7.co.id – Pada tanggal 24 April 2024 lalu, Bank Indoneisa (BI) mengumumkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps menadi 6,25 persen. Tingkat suku bunga tersebut kembali meningkat setelah sebelumnya bertahan pada level 6,00 persen sejak Oktober 2023.

Kebijakan kenaikan suku bunga acuan diambil dalam rangka menjaga kestabilan nilai Rupiah serta respons kebijakan higher for longer, The Fed yang diprakirakan masih terus berlanjut.

Memanasnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah serta perubahan dinamika ekonomi keuangan global mengancam kestabilan nilai Rupiah. Ancaman tersebut juga dialami oleh mata uang negara lain, bahkan mata uang negara-negara dengan ekonomi besar seperti Yen Jepang dan Yuan Tiongkok.

Kondisi itu mendorong investor global untuk memindahkan investasinya ke aset yang lebih aman, seperti dolar AS dan emas yang berdampak pada keluarnya modal serta pelemahan nilai tukar pada negara-negara berkembang.

Beberapa waktu terakhir, nilai tukar dolar AS terhadap Rupiah terus meningkat hingga menyentuh angka Rp16.000 per dolar AS. kenaikan tersebut berdampak pada kenaikan harga barang-barang impor seperti bahan bakar, gandum, kedelai dan gula.

Di sisi lain, penguatan dolar AS juga mengancam pelaku industri, khususnya pada industri yang mengandalkan bahan baku impor. Lebih lanjut, melemahnya mata uang Rupiah juga menjadi suatu mimpi buruk bagi pelaku industri yang memiliki hutang luar negeri, di mana mereka harus mempersiapkan dana lebih untuk membayar kewajibannya.

Untuk menahan berlanjutnya risiko tersebut, BI menetapkan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6,25 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00 persen.

Kebijakan tersebut diambil sebagai langkah pre-emtive dan forward looking serta kebijakan moneter yang pro-stability. Peningkatan suku bunga acuan tersebut secara langsung berdampak pada kenaikan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang diharapkan mampu menarik minat investor serta menambah inflow modal asing pada keuangan domestik.

Dengan suku bunga yang meningkat diharapkan mampu menjaga daya tarik imbal hasil dan aliran masuk investasi asing pada keuangan domestik serta mendukung stabilitas nilai tukar rupiah.

Penerapan kebijakan tersebut bukan tanpa risiko, meningkatnya suku bunga acuan berpotensi menurunkan penyaluran kredit perbankan dan berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, bagi nasabah atau pelaku usaha yang sudah memiliki hutang, naiknya suku bunga pinjaman berdampak pada jumlah cicilan yang harus dibayarkan.

Di balik pro dan kontra kebijakan itu, melihat pertumbuhan ekonomi domestik yang cukup baik, tergambar dari surplus neraca perdagangan barang pada triwulan I 2014 serta permintaan domestik yang masih kuat, diprakirakan dapat menjaga persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional.

Lebih lanjut, strategi kebijakan moneter yang pro-market, seperti SRBI, SVBI, dan SUVBI memperkuat upaya pendalaman pasar uang dan aliran masuk modal asing ke dalam negeri.

Oleh: Prima Mega Purwatama (Ekonom Yunior Bank Indonesia Kalsel)