Oleh: Kadarisman Pemerhati Politik Banua

Kunjungan silaturahmi pengurus DPD PKS Tabalong ke koleganya di Partai Golkar dan Nasdem seminggu terakhir ini dapat dimaknai biasa, apa adanya.

Sesama pengurus partai politik berjumpa sebuah kelumrahan. Begitu mestinya dan begitu adanya. Karena tak mungkin sebuah kebaikan demokrasi dibangun tanpa dibalut dengan banyak perjumpaaan. Perjumpaan yang dilandasi hasrat membangun masyarakat lebih baik menjadi esensi Partai politik itu ada. Maka berjumpa menjadi sebuah keniscayaan.

Namun silaturahim fungsionaris PKS tersebut juga dapat dimaknai lebih dari sekadar itu. Bagaimanapun keputusan berkunjung dengan balutan silaturahim dapat dimaknai sebagai bentuk komunikasi politik pada tujuan politik.

Pesannya bukan temu kangen dan membangun ukhuwah lintas partai saja, tapi merupakan langkah progres betapa PKS tidak ingin menjadi penonton pada pilkada 2024.

Kunjungan tersebut menjadi menarik karena yang menjadi sasaran silaturahimnya adalah Partai Golkar dan Nasdem. Dapat saja dikatakan, silaturahim juga akan menyasar semua partai nantinya, tetapi tak dapat disanggah jika Golkar dan Nasdem menjadi magnet tersendiri.

Golkar harus diakui menjadi partai warisan orde baru yang cukup eksis. Golkar merupakan partai yang memiliki stabilitas meyakinkan dalam kontestasi pilkada dan pemilihan legislatif. Kendati pada pileg 2019 lalu perolehan kursi Golkar mengalami penurunan, namun keterwakilannya masih signifikan. Sementara dalam koalisi pilkada Tabalong 2019 bersama koalisinya Golar harus diakui sebagai pemenangnya.

Dibandingkan dengan Partai Nasdem Golkar jauh lebih berpengalaman. Nasdem hanya memiliki dua kursi di DPRD Tabalong, bahkan jauh berada di bawah perolehan PKS sendiri. Namun yang tak dapat disangkal adalah figur Ketua Nasdem H Norhasani. Sebagai peraih suara terbesar kedua dalam pilkada 2019 lalu. Norhasani memiliki modal elektabilitas yang sangat penting. Nilai ini pasti akan selalu dirawat Norhasani, sehingga Nasdem begitu tampak seksi di mata PKS, bahkan juga oleh partai lainnya, PAN dan Gerindra misalnya pemilik wakil rakyat terbanyak di DPRD.

Silaturahim politik yang dikomandani langsung oleh Ketua DPD PKS, Hj Sumiati tersebut bermakna tersirat. Langkah itu merupakan sebuah kewajaran, karena memang 2024 adalah momentum tepat bagi PKS masuk dalam lingkaran kekuasaan eksekutif.

Dinilai tepat, karena PKS memang memiliki modal keterdukungan suara untuk itu. Pileg 2019, Sumiati, mampu melipatgandakan perolehan kursi partai di dewan dengan meyakinkan, menjadi sekasta dengan Golkar dan Partai PAN.

Sebagai legislator senior yang berulang kali memenangi kontestasi pileg di wilayah Utara, Sumiati memang selayaknya naik kasta, jika tidak bersama koalisi Golkar mestilah bersama koalisi Nasdem. Karena Nasdem dan Golkar belum akan seiring sejalan dalam waktu yang singkat. Namun catatan politik selalu menyisakan tempat yang cair, dapat berubah begitu cepat dengan dukungan dinimaka sosial politik yang berkembang.

Persoalan sekarang, bahwa Pilkada yang sudah memasuki masa tahapan di 2023 terlebih dahulu menunggu hasil pemilihan legislatif 2024. Peningkatan kursi PKS yang signifikan 2019 lalu mesti harus diuji pada pileg 2024. Perolehan kursi pileg teranyar itulah yang kelak menentukan langkah selanjutnya.

Berkaca pada hasil pileg 2019, tak satu pun partai politik di Tabalong yang dapat mengusung paslon dalam pilkada secara sendiri. Namun terlepas dari itu, koalisi partai tetap menjadi hal penting. Semakin besar koalisi, maka potensi kemenangan semakin terbuka. Tapi ini hanya salah satu indikator saja.

Sekali lagi, kunjungan silaturahim DPD PKS dapat dikatakan hal biasa namun juga sebaliknya, sebagai move politik yang membawa “signal cinta”. Langkah ini berkonsekuensi menyeret nama Hj Sumiati, terkerek naik ke tataran public issue, menyeruak sebagai figur yang layak ditimang-timang.

Wallahu’alam bisawab.