SIDOARJO – Pilkada yang menjadi bagian dari ueforia demokrasi pasca tumbangnya rejim Soeharto ternyata melahirkan anomali demokrasi.

Salah satu anomali demokrasi tersebut adalah korupsi. Sehingga ratusan kepala daerah terjerat kasus korupsi dan demokrasi tidak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat atau kemajuan suatu daerah (otonom). Problem politik uang dalam Pilkada tak bisa hanya dilihat dari satu sudut saja.

Lewat Simposium, Bawaslu Sidoarjo membedah akar politik uang sejak dari regulasi, penegakan hukum, kultur masyarakat dan relasi kuasa antar penyelenggara dengan peserta Pemilu.

Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), H. Aminurrokhman menilai bahwa kendala dalam Pilkada adalah kegagalan mengantisipasi dan menutup celah dari kelemahan instrumen aturan pengawasan yang membuat praktek mahar, mobilisasi suara, dan kolaborasi kriminal dilakukan dalam Pilkada.

“Dari awal perencanaan lahirnya seorang kepala daerah sudah diselimuti oleh politik uang yang masif,” jelasnya via daring.

Menurutnya, pada era 90 an, meskipun tidak ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang politik uang, tetapi tingkat politik uang nyaris tidak terdengar.

“Dulu kita melihat bahwa pemilih menentukan pilihan karena ideologi dan kapasitas calon. Akhir-akhir ini malah dorongan politik uang tambah kuat. Ini tantangan yang harus dijawab oleh kita semua”, tuturnya.

Dari segi penegakan hukum, Anggota Komisi III DPR RI, H. Rahmat Muhajirin memandang perlunya penegakan hukum Pemilu yang kuat.

Menurutnya posisi Bawaslu di Gakkumdu masih lemah.“Bawaslu ibarat dengan kurir yang membawa pelanggaran pidana Pemilu ke Gakkumdu. Saat sudah diproses di dalam, pelanggaran pidana Pemilu menggelinding tidak jelas”, terangnya.

“Untuk perbaikan di masa yang akan datang, perlu peradilan khusus Pemilu dan Pilkada yang menangani semua pelanggaran Pemilu baik itu berupa pidana, administrasi dan sengketa,” jelasnya.

Yang menarik, Bawaslu Sidoarjo juga menghadirkan akademisi untuk pencegahan politik uang, yakni Prof. Dr. Mas’ud Said yang menilai bahwa secara tradisional sebenarnya masyarakat menolak politik uang, tetapi karena terpaan politik uang yang kuat dari calon, maka fenomena politik uang tidak bisa terhindarkan.

Menurut Mas’ud, perlu pengawasan yang lebih ketat terhadap politik dan pendidikan pemilih terhadap masyarakat.

“Perlu pengawasan yang lebih ketat dan pendidikan terhadap masyarakat,” ujar Mas’ud.

Dikesempatan lain akademisi Prof Gempur Santoso memaparkan, bahwa dalam konteks politik di Sidoarjo, politik uang sudah terjadi dari atas. Hal ini dengan tertangkapnya Bupati Sidoarjo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya kalau pemimpinnya sudah tidak punya integritas, maka yang ke bawah juga bertaruh integritasnya.

“Tertangkapnya Bupati Sidoarjo H. Syaifulillah dan kasus Bupati sebelumnya menjadi bukti bahwa politik uang cukup tinggi di Sidoarjo”, tutur Gempur.

Untuk itu, bagi Gempur Bawaslu harus kuat. Ia memandang Bawaslu perlu bekerja sama dengan tokoh agama untuk melakukan pencegahan.

“Jangan hanya pendekatan hukum saja untuk mencegah politik uang. Tetapi kerja sama dengan tokoh agama untuk melakukan pencegahan,” pungkas Gempur.

Ditambahkan oleh Mohammad Rasul selaku koordiv. Pengawasan Bawaslu Sidoarjo yang sekaligus menjadi moderator dalam acara simposium pengawasan tanggal 21 Mei 2020 secara daring mengatakan bahwa untuk mencegah politik uang dapat dilakukan dengan cara yakni pertama parpol sebagai pengusung harus selektif terhadap calon yang di calonkan, calon harus mempunyai integritas anti politik uang dan atau tidak berpotensi menjadi koruptor. 

Kedua penyelenggara harus bekerja keras, cepat dan tepat dan mengawasi secara ketat.

Ketiga yakni ormas sebagai kepanjangan tangan masyarakat harus membangun integritas, ormas harus ikut melakukan gerakan anti politik uang, bukan berfungsi sebagai penyalur (distributor) politik uang.

Keempat ialah kesadaran masyarakat untuk memilih calon yang tidak melakukan politik uang, dengan menolak secara tegas pemberian uang atau janji dari para pihak.

Terakhir yang kelima yakni lartisipasi masyarakat untuk ikut mengawasi sangat efektif baik bentuk laporan atau informasi awal termasuk peran media.

Korupsi tidak hanya dimaknai sebagai perampokan uang rakyat yang kemudian dikonstruksi sebagai tindak pidana korupsi, melainkan ketika individu terpilih dari proses demokrasi yang disebut pilkada melepaskan diri dari ikatan tanggung jawab untuk melayani kepentingan rakyat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Politik uang Pilkada sebagai bagian dari biaya memproduksi koruptor. Pilkada menjadi mesin yang meningkatkan potensi korup seorang elit daerah menjadi koruptor sejati. Anomali demokrasi demikian seharusnya menjadi fokus pembahasan yaitu meningkatkan kualitas demokrasi dan mengoreksi praktek demokrasi yang selama ini lebih banyak menghasilkan koruptor. (metro7/az)