KABUPATENMALANG, metro7.co.id – Semakin banyak insan jurnalis di jagat pewartaan. Kehadiran mereka mencolok di dunia media massa siber atau media online. Hal yang memprihatinkan, mereka lahir sebagai wartawan karbitan.

Terminologi “wartawan karbitan” tersebut dilontarkan
Yunanto dalam percakapan dengan jurnalis media ini. Wartawan senior di Malang Raya itu mengaku prihatin terkait dengan peristiwa sejumlah oknum wartawan “menayangkan” pornografi di sebuah grup WhatApp (WA).

Mantan wartawan harian sore “Surabaya Post” (1982 – 2002) itu meyakini, wartawan karbitan pasti tidak “melek” hukum. “Melek” dalam arti mengerti da memahami hukum positif (undang-undang).

“Biasanya, wartawan karbitan tidak memiliki bekal Ilmu Publisistik Praktika, yaitu Jurnalistik, sebagaimana mestinya. Boleh jadi sekadar ikut diklat jutnalistik pun tidak pernah,” kata alumnus Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta itu.

Oknum wartawan karbitan dimaksud, oleh kakek dua cucu ini dikelompokkan ke dalam kelompok wartawan bonek (bondo nekat). Lazimnya, mereka berpembawaan kemlinthi, pethita-pethithi dan sok jagoan dalam konotasi serta kontek jagat publikasi media massa. Padahal, faktualnya zonk.

“Seingat saya, sekurang-kurangnya ada tiga produk hukum positif yang mengatur perihal pornografi,” ujarnya.

Ia sebutkan, selain KUHP juga ada UU No. 44/ Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) dan UU No. 11/ Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No. 19/ Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lazim disingkat UU ITE.

Sanksi Pidana
Masih kata Yunanto, oknum wartawan karbitan pastilah tidak tahu, betapa berat ancaman sanksi pidana delik pornografi. Bila berkiblat pada UU ITE, delik pornografi diatur di Pasal 27, ayat (1). Sanksi pidananya diatur di Pasal 45 ayat (1), berupa pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.

“Keyakinan saya, wartawan karbitan pasti juga tidak “melek” Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Bagaimana bisa melek KEJ bila sekadar membaca pun tidak pernah mereka lakukan.

Lebih lanjut, penasihat dan pembina di beberapa organisasi profesi wartawan di Malang Raya ini berpendapat, semua wartawan yang sebenar-benarnya jurnalis pastilah mafhum ihwal KEJ. Esensinya, KEJ adalah landasan moral dan etika profesi bagi wartawan.

Menurut instruktur diklat jurnalistik di institusi LASMI ini, sekitar tujuh tahun setelah lahirnya UU No. 40/ Tahun 1999 tentang Pers, lahirlah KEJ baru yang berlaku hingga kini.

KEJ buah reformasi tersebut lahir di Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006. Ditandatangani 30 orang pimpinan atau ketua organisasi wartawan (mayoritas) dan organisasi perusahaan pers.

“Sekali lagi, saya hanya prihatin. Bila wartawan karbitan kian menjamur tak terkendali, hancurlah marwah wartawan,” pungkas wartawan sepuh tersebut. (al)