BANGKA BELITUNG, metro7.co.id — Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Selasa 21 Juni 2022 lalu, Direktur Utama (Dirut) PT Timah Tbk (TINS) Achmad Ardianto menyampaikan gagasannya untuk menguatkan kembali status timah menjadi barang mineral strategis.

Pernyataan itu selaras dengan pandangan Penjabat Gubernur Provinsi Bangka Belitung Ridwan Djamaludin yang mengusulkan timah menjadi mineral kritis, dalam seminar pada 22 Juli 2022, di Kota Pangkal Pinang.

Adanya keseragaman pendapat terhadap hal ini tentu menjadi sinyal kebijakan yang sangat menggembirakan, mengingat sudah lebih dari 20 tahun optimalisasi potensi timah Indonesia dinilai minimalis oleh berbagai pihak.

Tak saja dari sisi serapan pendapatan ekonomi negara, tapi di sektor lokal pun terus berderet dampak multi-sektor yang dapat disaksikan secara terbuka saat ini.

Pencabutan status strategis terhadap timah sejak era Presiden Megawati dinilai sebagian kalangan sebagai kebijakan kontra-produktif yang patut ditinjau ulang.

Sebab, timah pada hari ini diperlakukan ibarat barang bebas tak bertuan oleh banyak pihak.

Berupaya mengulas wacana perubahan status timah tersebut, Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) yang membawahi Provinsi Sumsel, Lampung, Bengkulu, serta Bangka Belitung, menyelenggarakan talkshow bertajuk “Timah Menjadi Mineral Strategis, Serius Nih?”, di Warunk Milenial, Kota Pangkal Pinang, Jumat (29/7) malam.

Narasumber talkshow diisi oleh Dirut TINS Achmad Ardianto, dan Ketua FORDAS Bangka Belitung Fadilah Sabri.

Sedangkan Anggota DPR RI asal Dapil Bangka Belitung Zuristyo Firmadata, maupun Sekda Provinsi Bangka Belitung Naziarto, yang turut diundang sebagai narasumber dinyatakan berhalangan hadir.

Ketua Umum Badko HMI Sumbagsel Dede Irawan berkata, lembaganya telah mencoba berdiskusi intensif bersama beberapa pihak dari kalangan akademisi, pegiat lingkungan hidup, serta ekonom mengenai kondisi iklim pertimahan di Bangka Belitung saat ini yang semakin carut-marut.

“Momen ini sangat penting menguji keseriusan PT Timah demi terwujudnya pembangunan nasional yang strategis, lantas menganalisis pendekatan persoalan dari hulu ke hilir, serta mengurainya menjadi beberapa rekomendasi pendekatan sikap, berupa agenda strategis ke depan bersama kemitraan yang ada. Tentu sebatas peran gerakan kritis kemahasiswaan secara objektif, yang artinya jika di lapangan strategi ini teruji berpihak kepada rakyat, maka tentu akan kita dukung,” ungkap Dede ketika dibincangi Metro7.

Direktur Eksekutif Yayasan Bangka Belitung Kreatif Fauzan Azima, yang menjadi pembawa acara mengatakan talkshow ini adalah upaya positif untuk mengatasi persoalan tata kelola pertimahan nasional ke arah yang lebih komprehensif lagi.

“Optimismenya terhadap perkembangan sektor industri ekonomi kreatif di Bangka Belitung ini, bila arah komitmen serius dari para pemangku kebijakan negara terkait terobosan tata kelola pertimahan nasional memang terbukti nyata, yang selama ini telah menyedot banyak energi, berikut berbagai krisis di dalamnya,” ujar Fauzan usai acara.

Sementara itu, Dirut TINS Achmad Ardianto secara lugas menyatakan keinginannya untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya timah, supaya masyarakat Bangka Belitung bisa menikmati kekayaan alamnya dengan maksimal.

“Kita memang harus memperbaiki ekosistem timah Indonesia yang mencerminkan keinginan masyarakat Bangka Belitung, negara, dan para pelaku industri, yakni penambang timah rakyat harus beroperasi secara legal dan mendapat bimbingan, PT Timah dapat memaksimalkan kapasitas smelternya sehingga terhindar dari inefisiensi, dan smelter swasta yang sudah ada juga tetap memiliki hak untuk mengolah bijih, sehingga pemerintah bisa mendapatkan pajak serta PNBP yang optimum. Itu lah ekosistem timah yang ideal dan perlu dibentuk,” ujar pria jebolan ITB itu.

Bila ekosistem pertimahan ini bisa diwujudkan, Achmad meyakini laju pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung dapat terdongkrak signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti berupa pajak atau royalti.

Selain itu, pulau yang dikenal sebagai lumbung timah dunia ini pun dia katakan akan menjadi sentra industri berbasis timah.

“Kami PT Timah berupaya untuk berkontribusi mengubah kondisi ini. Karena kami merasa menjadi bagian dari Provinsi Bangka Belitung ini, dan kami ingin tumbuh bersama rakyat,” pungkas mantan Dirut PT Freeport Indonesia tersebut.

Agar gagasan itu terealisasi, dia menegaskan status timah harus dikembalikan lagi menjadi komoditas strategis atau disebut juga mineral kritis sehingga bisa dikelola oleh negara secara khusus.

Sebab, bilamana timah dapat dikelola secara khusus, maka upaya pengelolaan dan fungsi pengawasannya pun, kata Achmad, dapat terkontrol.

“Implikasi perubahan status timah menjadi strategis, maka pengelolaannya harus khusus. Dengan kekhususannya maka pemerintah bisa memastikan bahwa penambangan, peleburan, pengolahan, dan penjualan dapat melalui satu sistem yang bisa memaksimalkan empat hal yang saya sebutkan di awal,” ujarnya.

Apalagi, lanjut Achmad, terdapat mineral ikutan bernilai mahal yang terkandung di dalam bijih timah, seperti logam tanah jarang (LTJ) yang sangat dibutuhkan industri-industri teknologi kelas dunia.

Mineral LTJ ini, kata dia, merupakan komoditas tambang yang langka, dan hanya ada sedikit negara saja yang memilikinya.

“Di dalam satu ton bijih timah itu isinya ada komposisi zirkon, pasir silica, monasit, elminit, yang memiliki nilai tambah, dan wabil khusus logam tanah jarang (LTJ) sebagai logam yang jarang ada di dunia, sehingga kepemilikannya menjadi penting, sebab teknologi masa depan butuh LTJ,” beber Achmad yang secara tegas menekankan mengubah status mineral timah tersebut sangat lah relevan dan penting untuk saat ini.

Sedangkan Ketua FORDAS Bangka Belitung Fadilah Sabri menyambut positif gagasan yang diutarakan oleh Dirut TINS tersebut.

Fadilah menyebutkan gagasan itu merupakan terobosan yang berkemajuan.

Apalagi dampak dari penambangan liar yang tidak terkontrol saat ini, kata dia, menyebabkan sendimentasi hampir di seluruh sungai yang ada di Bangka Belitung.

Salah satu contohnya, papar Rektor Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung itu, terjadinya sendimentasi di hulu Sungai Perimping yang berlokasi di Kabupaten Bangka.

“Di bagian hulu Sungai Perimping setiap tahun laju sendimentasinya 597 ribu ton pasir yang masuk ke dalam sungai. Artinya terjadi erosi di hulu sungai. Berarti terjadi kerusakan yang begitu masif,” paparnya.

Ia juga menambahkan, hasil dari penelitian mahasiswanya, hampir setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) di Pulau Bangka mengalami kerusakan yang diakibatkan penambangan liar.

Karena itu Fadilah menyetujui gagasan untuk mengembalikan status timah menjadi mineral strategis, agar tata kelola pertambangan timah ke depannya dapat berjalan sesuai aturan, dan mengedepankan prinsip good mining practice yang ramah serta peduli terhadap lingkungan.

“Kegelisahan pak dirut ini saya bisa menerima. Saya sudah bicara seperti beliau ini tiga tahun lalu, dan saya diserang gara-gara mengatakan kembalikan status timah menjadi strategis,” imbuh Fadilah.

Ia menguraikan sesuatu hal bisa dikategorikan strategis bila berdampak besar dan berjangka panjang terhadap kelangsungan kehidupan umat manusia.

Sumber daya timah, dikatakan olehnya, adalah sumber daya alam yang berdampak besar bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang ada di Bangka Belitung sejak berpuluh tahun silam

“Sesungguhnya Pulau Bangka memang begitu banyak cadangan timahnya. Tinggal mau apa tidak memanfaatkannya. Karena itu perlu ada aturan. Aturan yang berkesesuaian dengan cita-cita luhur berdirinya Republik Indonesia, yaitu mensejahterahkan kehidupan bangsa,” pungkasnya.