LABUAN BAJO, metro7.co.id – Pohon aren (raping) bisa disebut pohon uang. Seluruh bagian pohon aren dapat menghasilkan uang. Mulai dari ijuk, daun, buah hingga isi batang dapat menjadi uang jika terampil mengolahnya.

Ijuknya bernilai ekonomis tinggi di tengah geliat pariwisata Kabupaten Manggarai Barat. Ijuk jadi barang mahal untuk atap bangunan yang naturalis atau tali untuk bangunan tertentu. Begitu juga daunnya. Tulang daun (lidi) bisa jadi bahan dekorasi dan sapu yang bertahan lama.  Buah aren bisa diolah jadi kolang kaling, bahan makanan yang lezat.  Yang paling diburu ialah air tetesan dari tangkai buah aren berasa manis yang disebut nira. Air nira diolah jadi gula merah dan minuman tuak atau sopi.

Pada saat pandemi virus corona, hampir semua komoditas lainnya terpapar dampak pandemi global. Sedangkan aren sulit dilumat virus maut itu. Bahkan tuak putih atau sopi justru menjadi salah satu penangkal virus corona.

Dari semua jenis UKM tiarap diterpa dampak corona. Sedangkan pengrajin sopi atau gula merah justru survive. Bahkan  hasil produksinya kerap kehabisan stok diburu penikmat.

Banyak petani di kampung-kampung di Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT yang tekun memproduksi gula merah, tak putih dan sopi.

Beberapa Desa di Kecamatan Mbeliling, misalnya, menjadi sentra sopi, tuak dan gula merah. Salah satunya Desa Tondong Belang di kawasan Bentang Alam Mbeliling.

Desa tersebut terkenal dengan sopi. Banyak pengrajin sopi dan gula merah berasal dari Desa ini. Saban hari mereka jualan sopi di lapak-lapak kecil sepanjang ruas jalan Trans

Adalah bapak Alosius Randik (66), seorang pengrajin gula merah dan sopi  di Kampung Mbore, Desa Tondong Belang, Kecamatan Mbeliling. Ia bahkan menekuni pekerjaan itu sejak tamat SD tahun 1969.

Ia menjelaskan, dari sekali masak, ia memperoleh 10 batang gula merah setiap hari. Gula merah itu dijualnya ke pasar dengan harga Rp 20.000 per batang atau Rp 500.000 per ikat. Satu ikat berisi 25 batang gula merah. Terkadang pula ia melayani pesanan dari para pelanggan di Kota Labuan Bajo, terutama pada saat hari raya Lebaran.

“Kalau air nira stabil, sekali masak 4 ruang (tabung bambu) bisa menghasilkan 10 batang gula merah,” jelasnya.

Pengolah gula merah lainnya adalah Alfonsius Gua (46), warga RT 003 Kembo, Dusun Semang, Desa Semang, Kecamatan Welak. Sekali masak, ia memperoleh 15 batang gula merah berukuran mini. Gula merah itu dijual dengan harga Rp 10.000 per batang atau Rp 250.000 per ikat. Satu ikat berisi 25 batang gula merah. Ia menjual gula merah ke Pasar Lembor dan juga jual di Labuan Bajo.

“Kalau air nira stabil, satu kali masak bisa menghasilkan 15 batang gula merah. Sekali masak 4 gogong nira,” kata Alfons.

Manfaat ekonomi inilah membuat pohon aren jadi tanaman unggulan hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Pohon Enau/Aren selain bernilai ekonomis, juga jenis pohon konservasi yang bernilai ekologis. Di Flores, umumnya, aren tumbuh liar di hutan, tanah ulayat masyarakat, kebun, di  tepi sungai, bukit, lembah dan ngarai.

Kepala KPH Manggarai Barat, Stefanus Nali menjelaskan, KPH mendampingi para pengrajin di kampung-kampung sesuai bidang kerja KPH yang disebut produk hasil hutan bukan kayu. Bambu dan gula aren termasuk hasil hutan bukan kayu. 

“Tidak ada salahnya juga  buat kami untuk kembangkan, karena ini bagian dari tugas kami KPH di bidang kehutanan  untuk meningkatkan ekonomi rakyat,” kata Stef Nali, Minggu (18/4).

Ia bersyukur banyak pengrajin di Manggarai Barat yang  berbakat dan menekuni usaha souvenir dan kerajinan memanfaatkan potensi lokal. Hasil karya para pengrajin lokal itu memenuhi kebutuhan pariwisata di Labuan Bajo. Sejauh ini, kata dia, KPH hanya sebagai fasilitator. KPH belum pernah  melakukan pelatihan apapun.

“Kami hanya sebagai fasilitator. Semua barang yang mereka kerjakan secara otodidak punya bakat untuk mengerjakannya.  Tanpa ada pelatihan. Kami hanya menyampaikan informasi tentang kebutuhan pariwisata di Labuan Bajo. Mereka buat tanpa kami mengeluarkan duit satu sen pun untuk pengembangan ini. Tidak ada satu pun proyek KPH yang khusus menangani produk kerajinan masyarakat hasil hutan  bukan kayu,” ujar Stefanus Nali. (*)