JAKARTA, metro7.co.id – Rencana penambangan batu gamping di Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) kini memasuki fase studi analisis dampak lingkungan (amdal). Kendati demikian, gagasan dan rencana PT IMM melakukan studi amdal itu mendapat perlawanan atau penolakan sejumlah kalangan masyarakat.

Senin (14/9/2020), PT Istindo Mitra Manggarai (IMM) telah mengumumkan kepada publik melalu media massa perihal studi amdal itu. Dalam pengumuman itu, PT IMM menjelaskan bahwa dampak negatif yang dialami oleh masyarakat hanya pada alih fungsi lahan dan munculnya kekhawatiran masyarakat.

Argumentasi PT IMM tersebut ditentang keras Serikat Pemuda NTT-Jakarta (SP-NTT). Mereka menilai bahwa tambang di lokasi tersebut akan berdampak buruk pada sektor Ekonomi, Sosial Budaya dan Ekologis.

Menurut SP-NTT Jakarta, upaya PT IMM melakukan studi amdal hanya untuk mengelabui potensi resiko atau dampak buruk yang jauh lebih besar dan merugikan masyarakat di lokasi tambang maupun masyarakat lingkar tambang.

Karena merugikan masyarakat, SP NTT-Jakarta menegaskan sikap mereka menolak studi amdal tambang seperti yang telah diumumkan PT IMM.

Melalui surat Nomor : 01/SP-NTT/1-C/15/09/2020, Perihal : Surat Tanggapan Terkait Studi Amdal tambang batu gamping di Desa Satar Punda, Serikat Pemuda NTT-Jakarta membeberkan berbagai alasan penolakan studi amdal yang digagas PT IMM.

Resiko ekonomis

SP NTT-Jakarta menegaskan, pertama, bahwa pabrik tambang akan merusak dan menghilangkan kepemilikan lahan produktif milik petani. Dampak ekonomi jangka panjang adalah para petani dan anak cucunya akan kehilangan sumber penghasilan jangka panjang. Bahkan selama-lamanya.

Kedua, usaha alternatif seperti beternak sulit dikembangkan karena sebagian besar lahan penggembalaan sudah dijual menjadi area tambang.

Ketiga, ganti rugi yang diterima tidak menjamin kehidupan dalam jangka panjang. Uang yang diterima sebagai hasil penjualan lahan akan terus berkurang dan habis pada waktunya. Apalagi masyarakat tidak memiliki kemampuan mengelola keuangan serta pola hidup yang konsumtif.

Adanya usulan agar dana tersebut membeli tanah di daerah lain adalah bagian dari proses pemiskinan karena para petani disuruh membeli lahan di tempat yang jauh dari
pemukimannya dengan kondisi yang belum tentu lebih baik dari lahan yang mereka miliki saat ini. Besar kemungkian akan mendapat lahan dengan harga yang lebih mahal dan luas
lahan menjadi lebih kecil dari yang dilego ke Investor.

Keempat, tumbuh pengangguran baru karena pabrik tidak akan banyak menggunakan tenaga lokal/masyarakat setempat yang unskilled dan untrained. Harus disadari bahwa masyarakat lokal adalah masyarakat agraris.

“Anggapan bahwa mereka akan dapat mengambil bagian dari kesempatan kerja di tambang dan pabrik adalah fatamorgana. Pabrik dan tambang yang dikelola dengan teknologi canggih akan meminimize jumlah tenaga kerja dan mengutamakan penggunaan mesin sehingga lowongan kerja yang ditawarkan juga akan sangat terbatas,” tulis SP NTT-Jakarta.

Kelima, peluang usaha yang timbul dari kegiatan ekonomi pabrik dan tambang tidak akan banyak dinikmati masyarakat lokal. Anggapan bahwa adanya pabrik dan tambang akan menghadirkan tambahan peluang usaha baru dan pertumbuhan ekonomi daerah, itu hanya benar secara teori.

Pertanyaan besarnya adalah apakah peluang tersebut dinikmati oleh masyarakat adat pemilik tanah? Hampir pasti jawabannya adalah TIDAK. Peluang usaha yang akan timbul seperti toko kelontong, bengkel, warung makan, toko material, kost-kostan dll.

Jenis usaha tersebut memerlukan modal, skill, pengalaman dan terutama ‘jiwa’ dagang atau memilki DNA sebagai wirausaha. Dan, masyarakat lokal hampir pasti tidak memiliki DNA tersebut
karena mereka adalah masyarakat agraris unskilled. Tidak memiliki modal. Tidak memiliki pengalaman. Tidak memiliki jiwa/mental dagang atau DNA wirausaha.

Keenam, kemiskinan menjadi salah satu indikator yang menunjukkan kemajuan suatu wilayah serta kemajuan pembangunan manusia. Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Garis kemiskinan yang dipakai di Indonesia menggunakan standar nilai pengeluaran makanan dan minuman yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang mencakup perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Ketujuh, tingkat kemiskinan di Kabupaten Manggarai Timur masih tergolong tinggi. Persentase penduduk miskin pada tahun 2018 mencapai 26,50 %. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 26,80 %. Dari data jumlah penduduk miskin di Kabupaten Manggarai Timur tahun 2018 tidak mengalami penurunan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan untuk menanggulangi kemiskinan.

“Persentase penduduk miskin di Kabupaten Manggarai Timur sebesar 26,50 % pada tahun 2018 masih berada di atas persentase kemiskinan rata-rata Provinsi NTT yakni 21,35 %. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Kabupaten Manggarai Timur terjadi karena masih adanya permasalahan di bidang Pendidikan, Kesehatan dan Bidang Sosial Kemasyarakatan,” tegas mereka.

SP-NTT pun menilai kehadiran tambang dengan menggunakan teknologi serba canggih tidak memungkinkan untuk bisa dioperasi masyarakat setempat. Pasalnya, pekerjaan
hari-harinya bertumpu pada sektor pertanian, perkebunan dan perikanan. Dan jika pertambangan dan pabrik semen ini dibangun maka akan terjadi marginalisasi masyarakat. *(bersambung)