Oleh M Jaya,
Kepala Biro Metro7 Tamiang Layang
DALAM sepekan tadi- saya tak ingat harinya- secara kebetulan bertemu dengan lelaki parohbaya di sebuah warung teh.  Lelaki yang sudah ubanan ini mengaku tinggal di Kota Tamiang Layang, ibukota Barito Timur (Bartim). Sambil menyeruput teh manis olahan si pemilik warung, dia berkata, “Bartim saat ini galau”.
Perasaan saya menggelitik ketika dia mengucapkan galau. Saya berpikiran, bahwa lelaki yang sudah berumur uzur itu masih dapat mengikuti perkembangan bahasa yang saat ini keren di kalangan anak muda.  Hampir setiap saya buka facebook, atau dalam mendengarkan perbincangan sehari-hari sebagian anak baru gede (ABG),  kata galau ini menjadi kata gaul dan seolah-olah merupakan bahasa ibu sekarang ini.
Bagi saya, galau itu terkait dengan perasaan. Ya, bisa karena pikiran sedang kacau, ada permasalahan yang belum bisa diatasi, bimbang tak menentu, dan lain sebagainya yang sifatnya dapat mengganggu konsentrasi orang yang sedang galau.
Lantas, apa hubungannya Bartim sedang galau yang diucapkan si lelaki tua tadi? Ngobrol di warung teh semakin bersemangat. Walau lelaki ini mengaku wawasan serta keilmuan tentang ilmu politik dan hukum kurang, karena hanya tamatan SD, tapi perasaan hatinya lebih dapat menilai sesuatu yang terjadi saat ini.
Pasca-pemungutan suara Pemilukada Bartim, sebagian besar masyarakat Bartim, salah satunya si lelaki yang ketemu saya di warung teh tadi, bimbang dan penasaran. Dengan penuh semangat, pada 4 April 2013, dia datang ke tempat pemungutan suara dan memilih salah satu pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bartim untuk lima tahun ke depan. Berselang satu bulan pasca-pemungutan, lelaki ini berharap sudah ada calon yang siap memimpin kabupaten  bersemboyan “Gumi Jari Janang Kalalawah”.
Harapan itu semakin mengambang. Kendati lembaga penyelenggara Pemilukada, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bartim, telah memplenokan dan memutuskan pasangan Ampera AY Mebas-H Suriansyah sebagai pemenang karena meraih suara terbanyak hasil pemungutan suara, jadwal pelantikan yang sudah direncanakan dan tersusun rapi dengan rangkaian tahapan Pemilukada lainnya, kini menjadi kabur tak terlihat.
Dalam benak ini ketika merespon pembicaraan lelaki itu, saya tak menyalahkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bartim Pancani Gandrung-H Zain Alkim yang menggugat KPU Kabupaten Bartim karena dinilai cacat hukum dalam menyelenggarakan proses Pemilukada. Saya juga tak menuding lembaga penyelenggara Pemilukada ini salah dan keliru dalam menjalankan tugasnya, karena mereka mengacu kepada aturan main.
Sebab pikir saya, dalam negara demokrasi dan hukum, semua ada aturan, ada hak dan kewajiban sebagai warga negara, yang ujungnya ingin mendapatkan keadilan. Proses gugat menggugat itu wajar karena merupakan salah satu dinamika dari negara demokrasi dan hukum.
Tapi yang membuat sebagian masyarakat Bartim galau saat ini, adalah dualisme keputusan hukum yang berbeda dari lembaga peradilan yang berbeda pula terhadap gugatan. Mahkamah Konstitusi (MK) yang sudah terbukti banyak memutuskan keadilan dalam sengketa hukum Pemilukada di Tanah Air ini, menggugurkan semua gugatan PAZ, sebutan pasangan Pancani Gandrung-H Zain Alkim. Keputusan berbeda setelahnya muncul dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya yang ‘memenangkan’ PAZ.
‘Draw’, istilah dalam pertandingan olahraga. Tentunya, saya yakin, kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing akan mempertahankan keputusan ‘kemenangan’ tersebut. Proses hukum akan semakin panjang untuk menyatakan siapa ‘pemenang’ seutuhnya.
Padahal, Juli bulan depan, jabatan Bupati dan Wakil Bupati Bartim H Zain Alkim-Yuren S Bahat, memasuki finish. Akankah keputusan politik tetap berpijak pada hasil Pemilukada untuk melantik terlebih dahulu pasangan Ampera-H Suriansyah sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bartim periode 2013-2018 seraya proses hukum tetap berlangsung untuk dihargai? Ataukah bakal ada careteker penjabat kepala daerah yang akan didatangkan ke Bartim untuk mengisi kekosongan pemimpin daerah jika tetap menunggu keputusan hukum yang bersifat final?
Inilah yang membuat si lelaki tadi, dan juga sebagian masyarakat Bartim merasa galau. Dampak dari kegalauan ini berpengaruh besar terhadap iklim investasi dan roda perekonomian nasyarakat. Investor yang ingin dan sedang menanamkan modal melalui usahanya, saya yakin, akan menunggu kepala daerah yang definitif. Sebab, investasi ini tidak lepas dari kebijakan-kebijakan kepala derah.
Di internal penyelenggara pemerintah, implikasi kegalauan pun bisa berpengaruh. Tidak menutup kemungkinan, kinerja sebagian aparatur pelayan publik ini menurun, terutama menyangkut kedisiplinan. Tapi harapan saya, hal ini jangan terjadi karena masih ada pimpinan mereka di unit kerja. Jika pimpinan unit kerja pun merasa galau, toh masih ada sekretaris daerah yang merupakan pejabat tertinggi mengurusi pemerintahan. Karena sekretaris daerah bukan merupakan pejabat politik.
Semoga kegalauan si lelaki tadi dan sebagian masyarakat Bartim akan cepat berlalu. Sehingga untuk ikut membangun Bartim kembali terkonsentrasi. Kesejahteraan yang didambakan pun bakal datang.***