Oleh : Sil Joni *)

Korupsi telah menjadi ‘duri dalam daging’ dalam panggung demokrasi kita. Sistem demokrasi elektoral-representatif yang kita terapkan pasca reformasi 1998, nyatanya seolah ‘membiakkan’ kultur korupsi dalam diri para elit politik. Jumlah elite politik dan pejabat publik yang dihasilkan oleh sistem demokrasi pemilihan langsung itu, cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Pesta politik Pilkada yang digelar secara serentak tahun ini dilaksanakan bertepatan dengan Hari Anti-korupsi Sedunia. Korupsi sudah menjadi ‘musuh publik global’ sehingga perlu menyiapkan momen khusus untuk membaharui sikap dan komitmen ‘penolakan’ terhadap setiap bentuk tindakan koruptif.

Saya kira peristiwa itu lebih dari sekadar ‘koinsidensi’ belaka. Ada satu pesan penting yang mau digarisbawahi ketika Pilkada digelar persis di saat kita mengenang Hari Anti-Korupsi Sedunia. Setidaknya, kita diingatkan untuk ‘tidak memilih calon’ yang berpotensi menjadi koruptor. Publik mempunyai andil yang besar dalam mengantar seorang pemimpin yang jika di kemudian hari tampil sebagai pencuri uang rakyat.

Publik mesti pastikan bahwa paslon yang kita dukung ‘tak tergoda’ untuk menyalahgunakan kekuasaan dalam merampas uang rakyat. Selain itu, kita mempunyai semacam tanggung jawab moral untuk mengawal dan mengontrol perilaku dari paslon seandainya mereka terpilih menjadi pemimpin politik di wilayah ini.

Hasil perolehan suara sementara berdasarkan perhitungan cepat (quick count) dan real count dari KPUD menunjukkan bahwa Paslon Edi-Weng tampil sebagai ‘pemenang’. Itu berarti, jika tidak ada perubahan, maka bisa dipastikan bahwa Edistasiusn Endi dan Yulianus Weng akan menjadi bupati dan wakil bupati Mabar lima tahun ke depan.

Saya berpikir, tugas kita tidak hanya berhenti di TPS dan sebatas mengantarkan mereka ke singgasana kursi kekuasaan, tetapi memastikan bahwa mereka tidak tertular virus korupsi yang sangat mengerikan itu. Bupati dan wakil bupati itu hanya sebagai pelaksana amanah. Pemilik kedaulatan yang sah adalah rakyat Mabar. Sebagai tuan atas kedaulatan itu, kita perlu memperhatikan kinerja politik dari ‘pelayan politik’ yang telah kita tunjuk.

Namun, sikap anti-korupsi itu sebenarnya tidak hanya mengarah ke para pemimpin (elit) politik. Menolak untuk korupsi mesti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari prinsip hidup dan tindakan kita setiap hari. Harus diakui bahwa dalam derajat tertentu kita selalu tergoda untuk korupsi. Potensi untuk bertindak koruptif itu ada dalam diri manusia.

Karena itu, jijik terhadap korupsi semestinya menjadi kebajikan dasariah dalam diri manusia. Sikap antipati terhadap laku koruptif mesti menjadi optio fundamentalis agar kemanusiaan tidak tercemar. Mengapa?
Korupsi tidak bisa direduksi hanya sebatas “aksi perampokan uang negara”.

Definisi korupsi mesti diperluas. Korupsi pada ghalibnya merujuk pada “aksi penodaan terhadap kepolosan jatidiri manusia. Setiap tindakan yang melawan nilai-nilai hakiki kemanusiaan mesti dipandang sebagai actus koruptif.

Dengan demikian, musuh terbesar kita adalah tendensi untuk berlaku korup di setiap lini kehidupan. Perjuangan melawan korupsi adalah ekspresi pembelaan terhadap kemanusiaan dari kecenderungan pembusukan itu. Karena itu, sebenarnya tiap hari kita selalu bergumul melawan perilaku koruptif dalam diri sendiri.

Hari Antikorupsi se-dunia yang dirayakan hari ini (9/12/18) menjadi momentum untuk merefleksikan komitmen dan konsitensi kita dalam “menolak naluri koruptif” dalam diri kita. Antikorupsi tidak cukup digemakan dalam level retorika dan slogan yang berbau politis.

Retorika antikorupsi kian agresif dieksploitasi para elit politik di musim kontestasi demokrasi elektoral saat ini. Korupsi di Indonesia sudah menjadi kangker stadium empat. Isu korupsi menjadi salah satu senjata politik untuk meraih simpati publik. Korupsi memang rawan, tetapi aksi politisasi atasnya juga kian rawan.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.