Oleh: Eko Sutopo (Manajer di Bank Indonesia Kalsel)

Dalam aliran riuh ketegangan global, terkadang sulit untuk menemukan pijakan yang kokoh. Rilis data inflasi Amerika Serikat terkini masih tinggi, mendorong spekulasi pelaku pasar terhadap penundaan penurunan FFR (higher for longer).

Di tengah kondisi perekonomian dunia yang berusaha pulih, ketidakpastian pasar keuangan global semakin meningkat akibat eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Kekhawatiran investor global dapat memicu pemindahan portofolionya ke aset yang lebih aman seperti dolar AS dan emas yang sehingga terjadi aliran modal keluar dari negara-negara emerging market.

Tak bisa dipungkiri, Rupiah juga terdampak. Selepas libur Hari Raya Idul Fitri, Rupiah melemah di atas Rp16.000 per dolar Amerika Serikat. Peristiwa ini mengejutkan banyak pihak dan menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas nilai tukar Rupiah.

Terlebih pelemahan Rupiah akan berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok masyakarat khususnya yang berasal dari imported inflation seperti kenaikan harga bahan bakar minyak dan bahan pangan global.

Pada 23-24 April 2024, BI mengambil langkah berani dengan menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps dari 6,00 persen menjadi 6,25 persen. Jika menelusuri lembaran sejarah kebijakan moneter, tak terbantahkan bahwa level suku bunga kebijakan ini merupakan yang tertinggi sejak BI-Rate (dahulu dikenal sebagai BI-7DRR) diperkenalkan pada April 2016.

Langkah ini ditempuh oleh BI untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap berada dalam sasaran 2,5±1 persen sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability.

Namun, apakah ini menjadi pijakan yang tepat untuk mengatasi tekanan nilai tukar? Apakah kenaikan suku bunga mampu menahan pelemahan nilai tukar Rupiah ke depan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah rasa ingin tahu banyak pihak terhadap langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter saat ini.

Pada dasarnya, perubahan suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI-Rate) bertujuan untuk mempengaruhi likuiditas Rupiah di rekening giro bank yang terdapat di BI.

Ketika suku bunga naik, maka bank cenderung akan menempatkan dananya kepada BI karena tingkat suku bunga penempatan di BI (deposito facility) yang lebih kompetitif. Namun ketika suku bunga turun, bank akan mendorong penyaluran dana kepada masyarakat melalui kredit dan dapat berdampak pada peningkatan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam kaitannya dengan nilai tukar, pelemahan atau penguatan mata uang mempertimbangkan selisih suku bunga kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Funds Rate/FFR) dengan suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI-Rate).

Artinya, semakin besar selisih antara BI-Rate dan FFR, semakin kuat alasan bagi investor untuk tetap mempertahankan investasi mereka di Rupiah daripada menukarkannya ke Dolar AS. Dengan demikian, kenaikan BI-Rate kemarin tidak hanya menunjukkan kebijakan moneter yang lebih ketat dari Bank Indonesia, tetapi juga memperkuat daya tarik Rupiah sebagai mata uang investasi yang stabil dan menguntungkan.

Hal ini mendorong investor untuk mempertimbangkan lebih lanjut, sehingga tidak menarik dana investasi dalam dolar AS mereka keluar dari Indonesia, yang pada gilirannya dapat membantu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah.

Momentum kenaikan BI-Rate ini semakin tepat didukung dengan kondisi perekonomian domestik yang tetap solid. Ketahanan eksternal ekonomi nasional didukung Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang kembali mencatat surplus pada triwulan I 2024.

Inflasi masih terjaga dalam kisaran sasaran 2,5±1 persen, menandakan bahwa kenaikan harga barang dan jasa tetap terkendali dan tidak melonjak secara signifikan. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) per Maret 2024 tercatat sebesar 3,05 persen (yoy), ditopang oleh inflasi inti yang rendah sebesar 1,77 persen (yoy) dan inflasi administered prices (AP) yang menurun menjadi 1,39% (yoy).

Pertumbuhan kredit juga terus meningkat. Pada triwulan I 2024, kredit tumbuh tinggi sebesar 12,40 persen (yoy) ditopang oleh pemodalan yang tinggi dan likuiditas perbankan yang memadai. Berbagai capaian di atas, semakin mendukung terjaganya persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional.

Dalam konteks ini, langkah Bank Indonesia telah menjadi pondasi yang tepat untuk menjaga stabilitas rupiah didukung dengan kondisi perekonomian domestik yang masih tetap tangguh. Memahami bahwa tantangan ke depan masih terus berlanjut, bank sentral harus menjadi pionir, mengambil langkah berani dan terukur demi membawa ketahanan dan stabilitas serta memberikan pondasi yang kuat untuk bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.