Oleh : Sil Joni *)

Debat publik pasangan calon (paslon) bupati-wakil bupati Mabar 2020 telah digelar. Tetapi, kisah tentang performa, gaya, dan isi pembicaraan para pendebat itu, belum kelar. Perbincangan mengenai penampilan, substansi, frase, kalimat, dan diksi yang meluncur dari mulut para paslon, begitu semarak hari-hari ini. Ini sebuah tradisi diskursif yang perlu dirawat secara kreatif.

Salah satu poin yang mendapat ‘atensi lebih’ dari publik adalah pernyataan ‘memindahkan uang dari pulau ke darat’ yang berasal dari paslon Edi-Weng. Ungkapan itu, tak bisa dielak, telah menimbulkan polemik yang seru di jagat maya. Beragam interprestasi coba dikedepankan dalam ruang publik.

Kesan saya, arah tafsiran warga-net berbanding lurus dengan ‘pilihan politiknya’. Jika individu itu tak ‘mendukung’ Edi-Weng, maka opininya cenderung miring, dalam arti tak setuju dengan pernyataan itu. Pelbagai argumentasi justifikatif, diproduksi secara massif dalam pelbagai kanal diskusi publik. Penjelasan klarifikatif dari para pendukung paslon ini seolah ‘tak berarti’ sebab rasionalitas penafsir sudah belepotan dengan interes politik elektoral.

Dalam kontestasi politik seperti Pilkada, fenomena ‘penggiringan opini’ itu sah-sah saja. Para rival politik selalu ‘bernafsu’ untuk melihat ‘sisi kurang’ dari gagasan yang dilontarkan oleh paslon tertentu. Tujuannya, tentu saja ingin mendereputasi atau ‘mencederai’ ide positif dari paslon tersebut.

Saya tidak ingin ‘terjebak’ dalam debat kusir semacam itu. Dalam dan melalui tulisan ini, saya coba ‘menyibak’ kabut kontroversial yang meyeruak dari ‘metafor politis’ yang digaungkan Edi-Weng dalam forum debat itu. Tujuannya, tentu saja agar ‘duduk perkara’ dari pluralitas interpretasi perihal ide cemerlang dari Edi-Weng, dapat tersingkap.

Boleh jadi ‘tafsiran saya’ ini tak sepenuhnya mewakili apa yang dimaksudkan oleh paslon tersebut. Opini ini tentu bersifat subyektif, berdasarkan daya tangkap saya terhadap ‘keseluruhan’ penjelasan paslon Edi-Weng tentang gagasan ‘memindahkan uang dari pulau ke darat’ itu.

Pertama, paslon ini cukup ‘piawai’ mengkreasi ungkapan politik yang berdaya menstimulasi ‘kapasitas penalaran’ dari publik. Mereka dengan ‘elegan’ membungkus gagasannya dalam busana literer yang menawan. “Memimdahkan uang dari pulau ke darat” rasanya sangat padat untuk membahasakan persoalan utama aktivitas kepariwisataan di Mabar selama ini.

Kedua, berkaitan dengan poin pertama tadi, gagasan itu tidak muncul dari ruang vakum dan langit mimpi. Ide itu lahir dari pembacaan yang teliti terhadap kompleksitas problematika aktivitas industri turisme di Mabar. Kita tahu bahwa selama ini kegiatan pariwisata itu lebih banyak terkonsentrasi di pulau-pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Sebetulnya, kenyataan semacam itu patut disyukuri dan didukung. Hanya saja, pemerintah daerah (Pemda) Mabar belum berhasil ‘menciptakan sistem regulasi’ yang memungkinkan Pemda ‘meraup banyak uang’ dari aktivitas di pulau-pulau itu.

Ketiga, ketika sebagian besar wisatawan lebih banyak ‘menghabiskan waktu’ di pulau-pulau dan laut, maka tentu saja kehadiran mereka relatif ‘tidak berdampak’ bagi masyarakat Mabar yang berada di daratan Flores. Kesempatan untuk ‘menggunakan jasa atau membeli produk dari penduduk di daratan, menjadi terbatas sebab semuanya sudah disiapkan oleh perusahaan yang mengatur perjalananan mereka. Tidak heran jika ‘kue industri pariwisata’ di Mabar relatif kurang dinikmati oleh mayoritas masyarakat di pegunungan.

Karena itu, hemat saya perlu ada terobosan agar ‘uang yang berputar di pulau-pulau dan laut dalam kawasan di TNK’ tidak hanya dinikmati oleh ‘segelintir orang’ dan atau tidak dibawa pulang oleh wisatawan. Paslon Edi-Weng dengan sangat cerdas menyiapkan strategi alternatif dengan membangun spot-spot wisata baru di darat seperti agrowisata, pementasan atraksi budaya, konsep pertanian berbasis zonasi. Keberadaan destinasi wisata alternatif itu dilihat sebagai perangkap agar wisatawan bisa tinggal lebih lama Manggarai Barat daratan.

Keempat, ungkapan ‘dari pulau ke darat’, tidak bisa diterjemahkan secara lurus (arti leksikal). Term pulau dipakai sebagai ‘pars pro toto’ (mewakili kawasan TNK baik gugusan pulaunya maupun wilayah laut). Saya berpikir ‘kata pulau’ dalam pernyataan itu, bagi kita yang dibesarkan di tanah Mabar ini, tidak terlalu sulit untuk menangkap maksudnya. Benar bahwa pulau itu terdiri dari darat juga. Tetapi, pernyataan itu tentu akan mengandung arti yang lain ketika dipakai dalam konteks wilayah Manggarai Barat.

Kelima, term ‘memindahkan’ tidak identik dengan mengabaikan atau tidak lagi memperhatikan kegiatan pariwisata di kawasan TNK. Bagaimana pun juga, tetap diakui bahwa kekuatan utama pariwisata kita adalah keindahan alam bawah laut dan pelbagai pesona eksotis yang ada di pulau-pulau dalam kawasan TNK. Sebuah blunder (kesalahan fatal) besar ketika pemimpin politik di Kabupaten ini, tak memperhatikan secara serius kegiatan pariwisata dalam kawasan TNK.

Keenam, dengan demikian, gagasan Edi-Weng ini tidak bisa secara serampangan dikaitkan dengan wacana relokasi penduduk di Pulau Komodo dari Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dalam dua tahun terakhir. Paslon Edi-Weng hanya berfokus pada upaya mendesain strategi agar uang yang melimpah di wilayah TNK (pulau-pulau dan laut) tersebab oleh semaraknya aktivitas turisme di titik tersebut, boleh mendarat di saku Pemda dan publik Mabar di bagian Flores daratan.

Sayang sekali ‘ide cemerlang’ ini ditafsir secara sempit oleh para rival politiknya. Bagi saya, siapa pun yang menjadi bupati-wakil bupati, gagasan paslon Edi-Weng ini, mesti dimanifestasikan. Dengan ini, masalah klasik industri turisme yang gagal mendongkrak PAD dan pendapatan publik bisa mendapat solusi yang efektif.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.