Menyoal Pelayanan RSUD
Oleh: Kadarisman
(Pemerhati Sosial &
Konsultan Spiritual Emotional Freedom Technique di Tanjung)
Beberapa hari terakhir, medsos ramai. Ada beberapa postingan warga menyuarakan keluhan. Pelayanan RSUD Badaruddin Kasim Tanjung disoal. Seolah ada krisis keramahan, krisis pelayanan dan krisis penanganan.
Keramahtamahan disorot, kekosongan obat tampaknya kerap terjadi dan itu pun ditumpahkan. Dikesankan seperti itu. Pertanyaanya ada apa dan kenapa hal demikian bisa terjadi?
Masyarakat sudah semakin mature menjadi warga negara. Akses informasi dan iklim sehat demokrasi yang makin baik di negara ini menjadikan mereka melek terhadap standar-standar pelayanan publik. Pemahaman bahwa kritik adalah bagian partisipasi pembangunan secara tidak langsung menjadi nilai budaya baru di 20 tahun pasca reformasi.
Tidak heran tempat pelayanan publik, termasuk Rumah Sakit tidak akan lepas dari pengawasan publik walau tidak melekat. Publik saat ini mentransformasikan dirinya sebagai kekuatan baru dalam memberikan input dalam pelayanan publik. Publik menjadi mata dan telinga bagi kantor pelayanan publik untuk berbenah secara total. Berbenah dari sisi managerial, instrumen dan standar pelayanan, sumber daya manusia bahkan yang tak kalah penting dan menentukan adalah berbenah dalam hal menanamkan attitude dan value komunikasi terhadap pelanggannya.
Pasien bukanlah subjek yang menjadikan Rumah Sakit sebagai objek penderita. Sejatinya pasien adalah pelanggan yang tanpa mereka akan megganggu eksistensi sebuah keberadaan RS itu sendiri. Pelayanan prima mesti dapat dijaminkan kepala pelanggan yang menggunakan jasanya. Jika tidak, fungsi RUSD akan kehilangan ruh sebagai bagian penting tujuan-tujuan berpemerintahan.
RSUD harus menjadi perpanjangan kepentingan pemerintah di bidangnya. Ia merupakan representatif negara yang harus hadir di dalam pelayanan kesehatan terhadap warga negara, tanpa melihat status sosial, latar belakang dan kelas penempatan bagi pasien.
Paradigma pelayanan RSUD mesti berubah. Pelayanan kesehatan di RS pemerintah dikesankan kalah bersaing dengan RS swasta bukan karena fasilitas dan instrumen Rumah Sakit yang kurang, tapi paradigma tidak diperbaharui. RSUD mesti membuat terobosan signifikan bagaimana merubah paradigma pegawainya harus bermental dan berorientasi melayani, selain pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni.
Keterampilan berkomunikasi mesti diasah bagi insan pelayan publik. Kritikan masyarakat di medsos dan menjadi perbincangan di ruang umum bisa dijadikan sebagai pijakan untuk meredifinisikan kembali substansi pelayanan, dimensi kualitas pelayanan, hingga pada startegi pengukuran kepuasan pelanggan dan strategi mengkunter keluhan dari pelanggan.
Hal mesti disadari adalah, bahwa pasien adalah pelanggan. Dia adalah ujung tombak sebuah keberadaan dari kenapa RSUD itu dibangun. Berapa besar dana rakyat menyediakan fasilitas dan gedung yang digunakan. Betapa lelah para wakil rakyat dan pihak eksekutif di pemerintahan merumuskan dan mennyisipkan anggaran demi pembangunan itu. Hanya gara-gara kesalahan kita mendefinisikan pasien adalah objek penderita akan membuat rating RSUD tidak pernah bangkit mensejajarkan dirinya dengan rumah sakit swasta. Alih-alih membuat pasien cepat sembuh, bisa jadi semakin lama untuk dirawat.
Kenapa bisa begitu? Ada hal besar yang memengaruhi kenapa orang sakit dan cepat sehat. Sebuah penelitian mengungkapkan sakit disebabkan oleh 70% akibat perbenturan seseorang dengan psikisnya. Hal lain 20% disebabkan oleh makanan dan sisanya 10% adalah olahraga.
Ada faktor lain yang tak kalah hebat dari sekadar pelayanan obat dan penanganan medis di dalam proses kesembuhan pasien. Apa itu? Yakni, sikap, vokal, bahasa verbal, bahasa tubuh pada pemberi umpan balik.
Dalam terminologi Islam, kecerdasan menggunakan vokal, bahasa verbal dan bahasa tubuh adalah sebuah doa. Baik bahasa yang digunakan maka akan bermetamorfosa sebagai doa yang baik. Begitu sebaliknya, tak nyaman bahasa yang digunakan akan menjadi doa yang melahirkan energi negatif. Dan itu memperlambat proses kesembuhan.
Terminologi psikologi bahasa adalah penentu hal ikhwal sebuah kenyataan bisa terjadi. Bahasa adalah frase yang tersusun dalam kalimat yang akan menjadi trigger sebuah sikap. Buruk bahasa pelayanan yang diberikan maka akan terjewantahkan dalam sikap yang pasti buruk. Dan demikian sebaliknya. Efek berganda kemudian terjadi, pasien akan semakin payah. Energi negatif yang diberikan akan direspon oleh pasien. Dan itu akan memperburuk keadaan. Tidak hanya pasien yang merespon tetapi orang-orang di sekitarnya, keluarganya bahkan publik.
Hal ini yang terjadi sekarang. Publik bereaksi mengeluhkan pelayanan RSUD Tanjung terhadap pasiennya. Perbincangan di medsos masih hangat. Pelayanan terus disorot. Mulai dari sikap arogan tenaga medis, seringnya kekosongan obat dan lainnya. Ini sunatullah. Salah strategi mengkunter suara publik justru akan merugikan institusi itu sendiri. Hal yang harus disadari, tidak ada sesuatu di luar sana akan berubah tanpa perubahan dari dalam sendiri.
RSUD harus mampu mengejawantahkan unsur unsur pelayanan prima supaya menimbulkan kepercayaan dan kepuasan kepada pelanggan dan pelanggan merasa dipentingkan serta diperhatikan. Hal ini krusial guna mempertahankan pelanggan agar tetap setia menjadi bagian yang menyebarkan keunggulan dan kebaikan yang sudah diberikan RSUD.
Saya kira permenkes no 43 tahun 2016 sudah cukup jelas mengatur , bagaimana standar pelayanan bidang kesehatan itu diselenggarakan.
Terakhir saya menyakini, tak mungkin semua petugas di RS pemerintah itu tidak cakap dalam berkomunikasi kepada pasiennya. Jika pun ada, pasti itu hanya sedikit dari banyak petugas lainnya yang lebih baik. Pepatah, nila setitik rusak susu sebelanga juga tidak relevan buat keadaan sekarang. Masyarakat dan publik juga mesti cerdas memilah, susu yang terkena nila dilokalisir agar susu yang lebih banyak tetap menjadi manfaat dan menyebarkan kemaslahatan untuk warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan.
Kegaduhan pelayanan di medsos dijadikan i’tibar dan harus dihentikan dengan strategi komunikasi yang lebih kongkrit. Publik sedang menunggu itu, agar pelayanan RSUD tidak selalu disoal.