Berita Proklamasi 17 Agustus di Borneo bagian Selatan (2)

 

Oleh : Mansyur, S.pd., M.Hum. (Dosen Sejarah ULM)

 

Berita proklamasi di wilayah Borneo bagian Selatan memang mengami banyak tantangan serta perlu perjuangan. Seperti di wilayah Pagatan berita Proklamasi itu agak terlambat diketahui. Berita itu baru diketahui setelah datang utusan dari Gubernur Kalimantan Ir. Pangeran Muhammad Noor, yang mengutus Andi Sekencuang dan Andi Maksum ke Pagatan.

 

Sementara itu tokoh-tokoh masyarakat Pagatan mengirim utusan ke Balikpapan yang terdiri dari A. Syukur Rahim, dan Minhaj untuk memperoleh informasi terakhir situasi di Balikpapan. Utusan tersebut setelah kembali menceritakan tentang kegiatan rapat-rapat umum yang diadakan oleh I.N.I (Ikatan Nasional Indonesia).

 

Realisasi dari kedatangan Andi Sekencuang dan Andi Maksum sebagai utusan dari Gubernur Kalimantan ke Pagatan, maka pada tanggal 25 September 1945 merupakan hari sejarah bagi rakyat Pagatan, karena pada hari itu pertama kali dikibarkan bendera merah putih, dilangsungkannya rapat umum dan pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah Pagatan yang terdiri dari : Andi Ancong, Andi Jufri, Gusti Ibrahim. Selain itu dibentuk pula Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang pimpinan umumnya dijabat oleh M. Baderi dengan diwakili oleh Andi Faisal dan Andi A. Karim yang dilengkapi dengan 9 orang pasukan.

 

Selain itu dikirim utusan yang terdiri dari H. Baderi, Gusti Ibrahim, M. Yasin dan M. Hasan Dahul ke Banjarmasin dengan berjalan kaki pulang pergi untuk memperoleh informasi tentang situasi terakhir.  Sikap dan tindakan pemerintah Jepang terhadap kegiatan masyarakat ialah berusaha agar kegiatan dalam keadaan tenteram jangan terjadi hal-hal yang mengganggu sementara menunggu Sekutu tiba.

 

Pada mulanya memang Jepang menaruh simpati terhadap perjuangan kemerdekaan. Namun sikap simpati itu dimaksudkan agar rakyat di daerah ini bersedia bersama-sama membantu Jepang untuk mempertahankan diri dari serangan Sekutu. Sikap ini juga mengandung maksud agar orang Indonesia jangan memusuhi Jepang pada saat-saat Jepang menghadapi Sekutu.

 

Tindakan-tindakan pemerintah Jepang yang menghambat itu antara lain tindakan penguasa Jepang melarang A.A Hamidhan yang baru kembali dari menghadiri sidang-sidang PPKI di Jakarta untuk mengambil langkah-langkah sehubungan dengan tugasnya sebagai anggota PPKI dari daerah Kalimantan Selatan. Karena sikap pemerintah Jepang itulah A.A Hamidhan tidak berhasil membentuk Komite Nasional Daerah Kalimantan, tidak berhasil membentuk PNI dan terlambatnya memuat berita tentang Proklamasi Kemerdekaan pada surat kabar “Borneo Simboen”.

 

Penguasa Jepang memindahkan orang-orang yang dianggapnya dapat mempengaruhi situasi daerah Kalimantan Selatan ke Pulau Jawa, dengan maksud status quo di daerah ini tetap utuh. Akibatnya orang-orang yang sangat diharapkan di daerah ini sebagai pelopor dan penggerak tidak ada lagi.

 

Kekejaman dan kebiadaban orang-orang Jepang terhadap rakyat Indonesia, Kalimantan Selatan khususnya, menyebabkan orang merasa takut untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang di Banjarmasin mengumumkan ancaman hukuman berat terhadap segala perampokan dan lain-lain yang berupa pelanggaran yang mengganggu keamanan. Pengumuman dikeluarkan pada tanggal 3 September 1945. pengumuman ini ada hubungannya dengan kedatangan A.A Hamidhan dari Jakarta.

 

Media massa yang ada di Kalimantan Selatan hanyalah surat kabar “Borneo Simboen” yang menyuarakan Jepang, sedangkan surat kabar yang berbeda tidak mungkin dapat diterbitkan. “Borneo Simboen” edisi Kandangan pimpinan Ahmad Basuni yang memberitakan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 20 Agustus 1945 merupakan suatu keberanian yang hebat, sementara Borneo Simboen edisi Banjarmasin diizinkan pemerintah Jepang memuat berita tersebut pada penerbitan tanggal 26 Agustus 1945.

 

Berita Proklamasi Kemerdekaan tanggal 20 Agustus 1945 di Kandangan dan tanggal 26 Agustus 1945 di Banjarmasin mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat. Dalam waktu singkat berita itu tersebar luas ke seluruh daerah Hulu Sungai. Di Banjarmasin masyarakat menyambutnya dengan mengibarkan bendera Merah Putih. Pemerintah Jepang tidak melarang terhadap pengibaran bendera Merah Putih ini.

 

Di Amuntai, beberapa pemuda dipelopori Abdul Hamidhan, Ruslan Husin, dan kawan-kawan telah naik mobil Chevrolet DA-216 dengan kibaran bendera Merah Putih, secara maraton pergi berkeliling kota sampai ke Alabio, Lampihong, Paringin dan Kelua, menyebarkan berita Proklamasi Kemerdekaan tersebut kepada masyarakat umum. Di tiap tempat yang disinggahi mendapat sambutan hangat dan penuh kegembiraan.

 

Di Martapura atas inisiatif Dokter Suprapto Kepala Rumah Sakit Martapura pada tanggal 27 Agustus 1945 dengan mengambil tempat di kampung Jawa, mengadakan pertemuan rahasia dengan tokoh-tokoh masyarakat dalam jumlah yang terbatas. Tujuan dari rapat itu adalah menyatukan pikiran dan pendapat, dalam usaha menyongsong persiapan Pemerintahan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan.

 

Kemudian menyatukan kekuatan di kalangan pemuda khususnya bekas Kaigun Heiho dan Polisi Jepang untuk persiapan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat Borneo (TKRB). Mengumpulkan alat senjata dan mesiu untuk mempertahankan Wilayah Borneo. Pertemuan itu mengundang sejumlah tokoh yang undangannya disampaikan secara lisan untuk menjaga kerahasiaannya.

 

Pertemuan ini dihadiri oleh Kiai H. Hasan Tjorong, Konsul Muhammadiyah Kalimantan, Opzichter Soeradi dari VW (PU) Martapura. Berikutnya, R. Wijono eks pimpinan Romusha (eks PETA Semarang), D. Giman anggota Polisi Jepang Martapura, R. Sastroadiatmojo, Polisi Jepang, M. Hammy A.M., Polisi Jepang, serta R. Sudarmin, eks pegawai Nomura Kabushiki Kelayan.

 

Dalam rapat itu baru sempat hadir empat orang di antaranya yaitu Dokter Suprapto, Kiai Hasan Tjorong, Opzichter Soeradi dan M. Hammy A.M. kemudian terpaksa bubar karena Polisi Jepang datang ke rumah sakit untuk membubarkannya.

 

Pertemuan kedua berlangsung pada tanggal 21 September 1945 bertempat di kantor VW (PU) dihadiri oleh : Dokter Suprapto, Kiai Hasan Tjorong, Soeradi, R Sudirman, M. Hammy A.M. Dalam rapat itu Dokter Suprapto menjelaskan tentang Proklamasi Kemerdekaan, namun ia masih ragu-ragu apakah kemerdekaan itu juga meliputi Kalimantan, karena A.A. Hamidhan yang pernah menghadiri sidang PPKI belum sempat menjelaskannya.

 

Walaupun demikian rapat telah berhasil membentuk Panitia Pembentukan Pemerintah Republik Indonesia Borneo (PPPRIB). Susunan Panitia itu diketuai oleh Dokter Suprapto, Wakil ketua I dan II masing-masing Kiai Hasan Tjorong dan Soeradi dengan Pembantu Umum dijabat oleh M. Hammy A.M. Panitia ini dilengkapi dengan Seksi Pemerintahan, Hubungan Urusan Militer dan Persenjataan serta Urusan Sosial dan Ekonomi.

 

PPRI itu terdiri dari Bagian Pemerintahan Umum, Bagian Badan Perjuangan, Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan pembentukan Polisi Tentara untuk mengimbangi NICA. Pemerintahan Umum yang merupakan pucuk pimpinan dijabat oleh Alwie beserta stafnya, Badan Perjuangan juga dijabat oleh Alwie dengan wakilnya Yusuf Jamal dengan seperangkat staf yang membantunya, BKR dijabat oleh Peran Kamar sebagai pimpinan dengan anak buahnya bekas Kaigun Heiho, Boei Teisin Tai yang merupakan inti pasukan, sedangkan Polisi Tentara dijabat oleh Yusuf Jamal sebagai Komandan. PRRI ini dilengkapi lagi dengan sejumlah pemerintahan sipil di daerah kecamatan-kecamatan.