FATWA yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan, Madura, bahwa hukum mengemis adalah haram tidak saja dapat dibantah dari sisi hukum negara, tapi juga hukum agama. Apa dasarnya? Fatwa tersebut menunjukkan bahwa MUI selama ini tidak ”kreatif” dalam mengeluarkan fatwa. Sebab, umumnya, objek fatwa hanya orang-orang kecil.
Sebut saja mulai fatwa haram golput, merokok, Facebook, tayangan The Master, hingga terakhir fatwa mengemis (jangan-jangan silet juga haram karena sering digunakan untuk menjambret). Namun, kita tidak pernah mendengar MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan DPR membolos, partai besar membohongi rakyat dari oposisi menjadi koalisi (padahal, rakyat ketika memilih berharap peran oposisi dijalankan misalnya), mengharamkan saling menjelekkan antarelite, dst. Singkatnya, orang-orang elite bebas dari fatwa haram.
Kembali ke soal mengemis itu haram. Pertanyaannya, apakah ada hukum agama dan hukum negara yang melarangnya? Justru, kalau tidak salah, negara wajib menyantuni orang-orang miskin serta anak-anak telantar dan yatim piatu, juga menjamin pekerjaan dan hak asasi, dst. Pertanyaan selanjutnya, kok tidak ada fatwa haram jika negara menelantarkan mereka?
Siapa pun orangnya kalau ditanya pasti tidak mau menjadi pengemis. Jadi, kalau dikenakan “pasal” haram, sang pengemis bisa saja mengelak, “Lho, memang siapa yang mau jadi pengemis? Kalau boleh, saya minta dilahirkan menjadi anak konglomerat.” Bahkan, pengemis yang “cerdas” bisa saja membela diri, “Negara saja mengemis, kenapa tidak diharamkan?” Lihat saja proposal-proposal yang diajukan negara-negara berkembang kepada negara-negara maju kepada IMF, Bank Dunia, lembaga-lembaga donor internasional, dst. Bukankah pada dasarnya itu juga mengemis atau minta bantuan tanpa kerja kreatif?
Bahkan, kalau dirunut lebih jauh, faktanya makin mengentak. Sebab, banyak pula panitia pembangunan masjid yang juga “mengemis” lewat proposal atau mengedarkan kotak amal di bus kota, bahkan mempekerjakan orang dengan cara membeli stempel panitia pembangunan dan sebagainya. Bukankah itu juga “mengemis” meski niatnya baik untuk ibadah? Kenapa tidak ada fatwa haram? Para pengemis juga menjalankan “ibadah” untuk menghidupi anak istri.

Orang-Orang Kalah?
Memang ada orang yang mengemis karena didorong rasa malas, bahkan ada yang menipu (misalnya pura-pura berkaki buntung). Pekerjaan mengemis juga “enak”. Sebab, hanya menadahkan tangan, konon uang puluhan ribu masuk ke kantong. Bahkan, TV swasta pernah menayangkan reality show seorang pengemis yang pulang ke rumah langsung bikin kopi susu dan nonton video (hasil mengemis) di rumah yang layak huni (juga hasil mengemis). Pengemis itu mengatakan, paling sial dirinya bisa memperoleh uang 50 ribu rupiah dalam sehari.
Namun, secara umum para pengemis adalah masyarakat menengah ke bawah yang sehari-hari sudah kalah, stres, dan susah mencari penghidupan. Dalam logika Prof Satjipto Rahardjo, guru besar hukum Undip Semarang, orang yang memiliki pekerjaan layak, sejelek apa pun wataknya, tidak akan terangsang untuk mengemis, begitu juga sebaliknya. Hal senada dikatakan oleh Barington Moore (1978). Dia menjelaskan bahwa kepatuhan atau perlawanan kaum muda (termasuk pengemis) sangat dipengaruhi kondisi sosial atau kekuasaan serta pembagian barang dan jasa.
Para pengemis adalah orang miskin yang terbentuk akibat pembangunan yang timpang. Lalu, terbentuk kelompok marginal yang tidak mampu berperan dalam proses itu sehingga mengancam stabilitas sosial. Dalam masyarakat industri, nasib manusia seolah-olah tidak ditentukan oleh Tuhan, melainkan tertib sosial buatan manusia. Dalam sastra Eropa, alienasi psikologis senantiasa digambarkan manusia yang jiwanya terpecah, mengalami keputusasaan terhadap kemungkinan kelestariannya (Murchland, 1971).
Dalam metanarasi postmodernisme, akan terlihat bahwa keseluruhan sistem sosial terus berubah dan berujung kesia-siaan masyarakat modern untuk membangun “sangkar” yang aman. Orang terus tenggelam dalam perasaan krisis (entzauberung). Pertama, kosmos yang nyaman berubah makna oleh otonomisasi dan sekularisasi. Sehingga, rasa aman lenyap. Kedua, masyarakat yang nyaman dirobek-robek karena individu mendesakkan diri sebagai pusat semesta. Ketiga, kebersamaan nilai goyah karena liberalisasi atau protes individual. Keempat, jarum jam atau waktu menggantikan tokoh mistis. Lalu, kelima, di atas segalanya, pribadi menemukan diri sendiri secara amat kuat sehingga Peter L. Berger menyebutnya lonely crowd (Subangun, 1993).
Dalam karya sastra Eropa, sering digambarkan orang dengan jiwa terpecah akibat keputusasaan, sampai lahir beberapa tirani fasisme.
Jiwa manusia pengemis sungguhan akan terpecah, mengalami keterasingan. Mereka tidak takut menerjang siapa saja karena memiliki logika sederhana saja: Tidak akan kehilangan apa-apa jika dia mati. Mungkin itulah gambaran para pengemis. Mereka kalah di mana saja. Jangankan untuk hidup, sekadar untuk makan sehari-hari saja dia harus berpanas-panas di bawah terik matahari, berjalan puluhan kilometer dari rumah ke rumah, harus berkelahi dengan satpol PP dan rasa malu, serta kini harus “berkelahi” dengan panutan mereka, yakni MUI.
MUI memang tidak salah. Namun, tolong keluarkan juga banyak fatwa haram tentang perilaku para elite agar rakyat aman. Bukankah amirul mukminin itu berarti amanlah kita jika ada dia, baik harta maupun nyawanya? Artinya, muslim adalah orang yang mampu menyelamatkan orang lain. (penulis :Peneliti dan dosen Universitas Negeri Semarang)