Oleh: Usman Kusmana
 Jika membaca fenomena kemenangan banyak kandidat dalam kontestasi Pilkada, kita akan menemukan beberapa fakta serta hipotesis sbb :
Pertama, Popularitas tak selamanya berbanding lurus dengan tingkat Elektabilitas. Kenyataan ini menunjukan bahwa dalam banyak kasus, seseorang yang menurut survei memiliki tingkat popularitas yang tinggi tapi ternyata dalam pelaksanaannya tak dipilih oleh masyarakat. Hal ini ternyata berhubungan dengan tingkat “Disukai” atau tidaknya kandidat tersebut. Meskipun dia populer, tapi kalau tidak disukai ternyata tidak akan dipilih.
Kedua, Faktor Rendahnya Elektabilitas karena “Tidak Disukai” ini ternyata bersumber dari faktor kuatnya “Persepsi” publik tentang kandidat tersebut. Dan persepsi dibangun oleh kekuatan opini melalui berbagai media yang dijalankan. Baik media cetak, elektronik, sosial, hingga alat peraga kampanye out door dalam bentuk Baligho, spanduk, pamflet dll. Kekuatan bangunan “Persepsi publik” tentang seseorang ternyata tak bisa diremehkan. Apalagi jika hal itu sudah menjadi gerakan yang massif, sistematis dan terstruktur.
Munculnya jargon ”Pengalaman” dengan “Perubahan”. Jika sang incumbent memasarkan tag ”Pengalaman” dalam memasarkan dirinya, karena dia sudah menjalankan kepemimpinan selama 5 tahun sebelumnya, maka apa yang dia lakukan selama itu ternyata dibaca dan dinilai oleh publik. Bagaimana dia menjalankan pemerintahannya, bagaimana dia berkomunikasi dengan rakyatnya, dengan organ gerakan dan aktifis, hingga bagaimana bacaan masyarakat terhadap perilaku moral dan sosial dirinya. Persepsi Publik tentang sang kandidat yang mengaku “Berpengalaman” jika itu bernuansa negatif, maka sangat diyakini, bahwa jika ada jargon “perubahan” pada kekuatan lawannya, maka hal itu akan menarik simpati masyarakat untuk beralih dukungan, sehingga masyarakat akan berpaling pada tag “Perubahan” tersebut.
Apa yang terjadi tentang persepsi sang Kandidat tersebut ternyata menjadi “Pembicaraan Umum” kalangan tercerahkan di berbagai media cetak, elektronik dan jejaring sosial. Apapun persoalan yang terjadi dan dianggap sebagai kelemahan kepemimpinan selama ini, dibedah secara kritis. Entah itu menyangkut sikap, perilaku dan karakter personalnya, maupun indikasi-indikasi penyalahgunaan APBD untuk kepentingan politik. Persepsi publik tentang citra personal ”Yang Sok Pinter, Arogan, Suka menantang” cenderung tak disukai oleh masyarakat. Apalagi jika misalnya ada persoalan moral yang menyertainya, seperti menyangkut skandal perempuan atau rumah tangga serta indikasi korupsi yang tercium publik.
Persepsi Publik tentang sosok kandidat lainnya yang mencerminkan pesona pribadi yang ganteng, gagah, santun, low profile, lurus dan bersih serta mencerminkan semangat perubahan, cenderung lebih disukai oleh masyarakat. Dan persepsi itu juga dibangun secara massif dalam kekuatan opini di berbagai media. Sehingga jika dihadapkan head to head antara jargon “Pengalaman” dengan jargon “Perubahan”, maka akan lebih mengena jargon perubahan. Jika masyarakat sudah terbentuk persepsi yang kuat dalam memory kolektifnya tentang kandidat tersebut.
Ketiga, Kekuatan Finansial. Diakui atau tidak. Dalam Pilkada uang sangat menentukan juga. Kekuatan finansial sang kandidat dalam proses pencalonan politiknya akan mempengaruhi bagaimana bacaan masyarakat terhadap sang kandidat. Jika rata-rata Kandidat incumbent dipersepsikan memiliki kekuatan finansial yang tak terbatas, karena dia bisa memanfaatkan uang rakyat dari APBD, maka hari ini hal tersebut akan selalu menjadi wilayah tembak yang sangat empuk dalam pembuatan “Persepsi publik”. Faktor tersebut akan diidentikkan dengan persoalan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Sementara jika kandidat penantang memiliki kekuatan finansial, akan dipersepsikan “Karena sudah kaya raya”, kuat finansialnya, jika terpilih dia tidak akan berani untuk melakukan praktik korupsi, apalagi jika persepsi yang terbangun tentang sosok itu selama ini dikenal lurus dan bersih misalnya dari opini tentang praktik kotor tersebut.
Jadi, Jangan sekali-kali meremehkan Opini. Karena Opini akan mampu membentuk “Persepsi Publik” tentang sang kandidat. Untuk itu, jika kita ingin membaca arah dukungan politik masyarakat terhadap kandidat yang maju dalam Pilkada, baik di Tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pilpres, kita bisa membaca suasana psikologis masyarakat akan “Persepsinya” terhadap kandidat itu. Jika terbaca massif dan menjadi “Opini publik” baik, dia akan menang. Jika sebaliknya, siap-siap saja dia kalah dan terjungkal. Meskipun dia berada pada posisi incumbent atau petahana dengan segala kekuasaan yang ada di tangannya.