Oleh: Kadarisman

(Pemerhati Politik Banua)

Kerap kali yang tampak mata memuslihat kita. Kerap kali jabatan dan kekuasaan senagai bupati dianggap sebagai keleluasaan berbuat, padahal hanya teritori sempit penuh dengan ranjau kehidupan.

yang hebat itu bukan jabatan bupati, tapi jabatan yang dijalankan penuh amanah dan tidak menjadi racun buat diri sendiri tapi menjadi maslahat buat rakyat.

Kehormatan kekuasaan politik bukan tentang memenangkan kontestasi politik dalam pilkada, tetapi kemampuan mengalahkan keinginan diri agar memenangkan masyarakatnya melebihi keinginan pribadi dan tim suksesnya, termasuk juga buat para jamela-Jamela.

Kerap kita melihat keberlimpahan kepada harta yang dipunya, padahal keberlimpahan sejati adalah teguhnya keimanan dan orientasi membangun politik bersih di tengah-tengah ujian ketika bertahta buat amanat kepercayaan konstituen.

Mata kerap memuslihat pandang lalu membuat banyak pihak terjerambab dalam keputusannya yang diambil berdasar pandangan syahwah yang indah pada penglihatan.

Korupsi terjadi karena lemahnya seseorang menempatkan orientasi dalam pandangan. Ada kesalahan persepsi kehidupan bagi seseorang ketika diberi amanah. Alih-alih mengurusi rakyat malah sibuk menumpuk kekayaan dan kesenangan bersama kelompok elitnya.

Tak lagi peduli bagaimana rakyat dalam kemiskinan asalkan mampu ditumpuk harta, rasanya bahagia, damai sentosa baginya.

Kesesatan pikir ini jamak terjadi pada aktor kekuasaan politik di negeri ini. Bayangkan saja, sejak pemilihan kepala daerah secara langsung tahun 2015, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sedikitnya 300 lebih kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi.

Kasus teranyar yang mencengangkan justru datang dari Banua. Bupati Hulu Sungai Utara (HSU), Abdul Wahid menambah panjang catatan kelam itu, setelah sebelumnya Bupati HST dicokok gara-gara masalah yang sama.

Politisi yang mengawali karirnya sebagai wartawan tersebut disangkakan melakukan korupsi Rp 18.9 milyar di masa periode pertama dan kedua kekuasaannya.

Imbas dari ditetapkannya Abdul Wahid, pengembangan penyelidikan KPK kemana-mana.

Berbagai pihak pihak untuk dimintai keterangan sebagai saksi, mulai dari ASN, Anggota DPRD, pelaku usaha hingga politisi, termasuk kepada terseretnya wanita-wanita yang dimintai keterangan untuk tersangka Abdul Wahid.

Menjadi kepala daerah atau bupati itu dalam sistem politik saat ini sama saja bersengaja untuk korupsi. Pasalnya take homepay seorang bupati diyakini tidak mampu membayar biaya politik yang dikeluarkan selama kontestasi berlangsung.

Bayangkan saja, rata-rata biaya politik sebuah suksesi kepala daerah di kabupaten dan kota bisa mencapai Rp 20 milyar lebih. Besarnya biaya politik menjadi bupati sangat mustahil dilunasi dengan mengandalkan gaji yang resmi dibayarkan oleh negara.

Di sisi lain, kewenangan yang besar bupati menciptakan peluang finansial untuk dijadikan pendapatan atau keuntungan bagi pihak lain untuk membayar biaya politik.

Ada peluang untuk penguasa daerah memainkan dalam pengadaan barang atau jasa, penyalahgunaan anggaran dan penyelewengan dalam urusan perizinan dalam sumber daya alam.

Kerap kali juga terjadi monopoli kekuasaan di daerah. Kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam pengelolaan anggaran APBD, perekrutan pejabat daerah, pemberian ijin, serta dalam pembuatan peraturan kepala daerah.

Ini juga menciptakan jebakan kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi melalui suap dan gratifikasi.

Kasus yang menjerat Bupati HSU, Abdul Wahid hampir mencakup lahir dari semua peluang yang ada. Selain soal gratifikasi juga soal jual beli jabatan dan tidak menutup kemungkinan yang perlu dibuktikan di hadapan pengadilan adalah potensi pencucian uang pun terjadi.

Apapun yang menimpa bupati yang melakukan kejahatan korupsi juga tidak lepas dari sistem politik yang menciptakan peluang itu ada.

Sistem politik harus dibenahi tetapi orientasi politik dan komitmen bernegara menjadi syarat pertama yang dibenari oleh seorang pemimpin pemerintahan di semua level.

Melihat wajah sistem politik tersebut susah untuk mengatakan ada kepala daerah yang tidak tergelincir dalam jebakan kepentingan tersebut.

Pendapat ini tidak mengatakan semua pemimpin daerah itu tidak bersih , namun lebih kepada pernyataan bahwa semuanya bersih dan hanya sedikit yang sial.

Namun sial yang ditandai dengan tertangkap oleh KPK tidak selalu dimaknai buruk. Justru terhentinya perilaku kurop oleh KPK adalah pesan Tuhan kepada jalan kesadaran.

Kejahatan dapat berhenti atas munculnya kesadaran diri dan karena dipaksa dihentikan oleh pihak lain.

Oleh karena itu jika kepala daerah tertangkap oleh aparat hukum, itu sejatinya karunia Tuhan. sedikit waktu untuk berhenti sejenak dari tumbuhnya kesadaran untuk mengisi kembali waktu luang untuk penyesalan dengan amal.

Pada akhirnya keadaan yang tampak getir itu sejatinya jalan pengajaran sebelum pintu kesempatan ketika Tuhan meminta seorang hamba pulang ke haribaan Nya.

Keadaan seperti itu adalah pesan Tuhan buat bupati atau penguasa kekuasaan politik di negeri ini di samping juga karena High Cost Politic Impact yang menjadi PR di bernegara. ***