TANJUNG, – Siapa yang tak mengenal Syekh Muhammad Nafis bin Idris Albanjary,  Ulama yang wafat pada tahun 1781 dan dikenal dunia lewat kitab Tasawwuf  “AD-Durun Nafis” dan karangannya tersebut terus dicetak dan dipelajari disejumlah negara seperti Makkah (Arab Saudi), Kairo (Mesir), Malaysia, Brunai, Singapura dan berbagai percetakan di Nusantara.
Nama besarnya juga bisa dibuktikan dengan hadirnya ribuan jamaah baik dari Kalimantan maupun dari luar pulau bahkan dari mancanegara yang memadati makamnya di Desa Binturu Kecamatan Kelua dalam memperingati acara tahunan haulan Syekh Nafis.
Dari beberapa kutipan yang diperoleh, Syekh Nafis lahir sekitar tahun 1148 H/ 1735 M di Martapura Kabupaten Banjar. Sebagaimana data silsilah garis keturunan yang bersambung dengan Sultan Suriansyah, maka Syekh Nafis terlahir sebagai keluarga bangsawan dari Kesultanan Banjar.
Meski tidak ada catatan pasti tahun beliau pergi menuntut ilmu ke Islaman ke Mekkah dan Madinah, namun dari daftar nama-nama guru yang pernah mengajari Syekh Nafis, diantaranya Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Sammani Al madani, maka kemungkinan besar Syekh Nafis sewaktu menuntut Ilmu di Haramain, satu masa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary (Pengarang kitab Sabilal Muhtadin) dan para Ulama Jawi (Indonesia/ Asia Tenggara) abad 17 dan ke 18, diantaranya Syekh Abdus Shamad Al Falimbani.
Dalam sejarah Islam di Hulu Sungai, pada abad ke 19 masehi, oleh Kesultanan Banjar, lokasi daerah Kelua (Tabalong) ditetapkan sebagai tempat untuk penyebaran Islam, karena wilayah Kelua berbatasan langsung dengan daerah Kaltim dan Kalteng. Maka Syekh Nafis turut berhijrah dan menetap di Kelua sebagai tempat untuk menyebarkan Agama Islam, juga sebagai wujud ketidak senangan beliau kepada penjajah Belanda yang kala itu mulai menguasai Keraton Kesultanan Banjar.
Karena kepiawaiannya dalam Ilmu Tasawwuf, atau ilmu yang paling ditakuti oleh Penjajah Belanda, dan sangat berpengaruh dalam hal semangat jihad di tengah masyarakat, maka Ulama sekaligus pujangga Islam kelahiran Tanah Banjar dalam hidupnya sempat mengarang dua buah Kitab, yakni Kanzus Sa’dah dan Ad Durrun Nafis.