MATARAM, metro7.co.id – Pilkada Kota Mataram tengah memasuki babak baru. Dua tokoh berpengaruh NTB yang pada Pemilihan Gubernur lalu saling rangkul untuk kemenangan kini berhadap-hadapan sebagai lawan guna memenangkan masing-masing calon dukungan di Pilkot Mataram.

Dua tokoh berpengaruh NTB tersebut adalah mantan Gubernur NTB dua periode TGB Dr. Zainul Majdi dan Gubernur NTB saat ini Dr. Dzulkieflimansyah, Rabu, (19/08/2020).

TGB diketahui akan mendukung rekannya sesama kader Golkar H. Mohan Roliskana sementara Dzulkieflimansyah memutuskan mendukung pasangan koalisi PDIP-PKS Selly-Manan.

Perlu diketahui, TGB dan para tokoh NW pada Pilkada NTB lalu menyatukan kekuatan guna mengantar pria yang akrab disapa Dr. Dzul tersebut meraih kursi NTB satu.

Berpasangan dengan Dr. Hj. Siti Rohmi Djalilah selaku saudara kandung TGB kala itu, pasangan Dzul-Rohmi mantap kalahkan tiga pasang kandidat dengan nama-nama mentereng macam Ali BD, Suhaili, pun Walikota Mataram Ahyar Abduh.

Terkait hal tersebut, Dzulkieflimansyah memberikan isyarat tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Perbedaan dukungan pada kontestasi politik menjadi hal mutlak di dalam negara demokrasi. Oleh karenanya, berbeda pandangan harus diterima sebagai suatu hal yang niscaya.

“Biasa-biasa saja,” katanya kepada metro7.co.id.

Untuk diketahui, Pilkada Kota Mataram akan diselenggarakan bersama-bersama dengan Pilkada enam kabupaten lain di NTB pada Desember 2020 nanti.

Dr. Dzul selain memberikan dukungannya pada pasangan Selly-Manan di Pilkot Mataram, juga mendukung Mahmud Abdullah-Dewi Noviany di Pilbup Sumbawa. Novi sendiri adalah adik kandung sang gubernur.

Terkait nama terakhir yang adalah famili dekat Dr. Dzul, pihaknya juga mengatakan hal tersebut sebagai hal yang biasa saja. Sebab tidak ada aturan yang dilanggar terkait hal tersebut.

Sebelumnya, Ali Bd selaku mantan Bupati Lombok Timur yang juga pernah bersaing dengan Dr. Dzul memperebutkan kursi NTB satu menyatakan jika praktik tersebut masuk dalam kategori politik dinasti. Praktik yang sah secara hukum tetapi tidak baik secara etika politik.

“Kenapa dengan dinasti. Selalu ada begitu-begitunya,” sanggah Dr. Dzul singkat***