Oleh : Sil Joni *)

Pertengahan tahun 2020, jagat literasi di Mabar tampak bersemi. Betapa tidak, pelbagai aktivitas dan inisiatif yang bernuansa pengembangan ‘budaya literasi’ sangat intensif dilakoni oleh berapa komunitas pegiat literasi.

Salah satu yang paling fenomenal adalah kemunculan grup “Guru Mabar Manulislah (GMM)” di ruang media sosial yang sukses memproduksi sebuah buku. Pelbagai pikiran yang dilepaskan secara bebas dalam ‘ruang diskusi imajiner (facebook), diedit dan ditata lagi menjadi sebuah buku dengan judul: “Guru Mabar Berkreasi di Tengah Badai Covid-19″. Buku sulung itu sudah dibedah dan diluncurkan secara resmi pada awal Oktober yang lalu.

Namun, saya menangkap kesan bahwa ‘dunia literasi’ di Mabar tampak ‘sepi’ pasca-peluncuran buku itu. Gairah kita untuk terlibat secara aktif dalam menginternalisasikan kultul literasi, masih suam-suam kuku. Kita kembali ke situasi yang ‘biasa-biasa saja’, tidak panas, tidak juga dingin.

Jauh sebelum grup itu berkiprah, kita mesti jujur dengan diri sendiri. Kultur literasi (baca-tulis) memang belum terlihat di tanah wisata ini. Gerakan untuk menghidupkan budaya itu pun masih bersifat sporadis. Belum ada pihak atau lembaga yang secara intens dan total mendedikasikan ‘segalanya’ untuk menumbuhkan benih aktivitas literatif itu.

Lembaga pendidikan (sekolah) yang diharapkan menjadi wadah persemaian tradisi itu dalam tubuh generasi muda kita, nyatanya belum bisa berbuat banyak. Energi atensi para guru terlampau banyak disedot dan tergerus untuk mengurus dan memenuhi aspek teknis-administrasi pembelajaran di kelas.

Kondisi semakin runyam ketika sarana dan prasarana untuk menstimulasi dan memfasilitasi mekarnya budaya akademik itu masih jauh dari ekspektasi. Belum ada sekolah yang memiliki semacam ‘taman baca dan perpustakaan’ dengan koleksi buku bermutu dengan tema yang variatirf.

Perpustakaaan di sekolah kita, umumnya ‘ditumpuki’ oleh buku teks yang kering, kaku, dan kurang menarik dalam ‘memancing’ selera baca para siswa. Kendati stok buku ilmiah dan sastra berlimpah di beberapa perpustakaan, masalahnya adalah para siswa ‘agak takut’ (baca: tidak mau) mengunyah ‘isi pustaka’ yang berat itu. Para guru relatif gagal ‘mengarahkan’ para peserta didik untuk ‘terbiasa’ melahap menu intelektual yang berbobot itu.

Potret buram itu bertambah buruk ketika kita ‘mengintip’ isi rumah keluarga kita. Rumah yang memiliki semacam ‘pojok literasi’, bisa dihitung dengan jari. Kerja intelektual seperti menulis, membaca, berdiskusi dan berefleksi belum menjadi habitus yang mengakar dalam ekosistem kebudayaan kita.

Anak SMP, SMA/SMK mana di Mabar ini yang setiap minggunya membaca minimal satu buku dan menulis satu artikel untuk dipublikasikan di majalah dinding sekolah atau di halaman media sosial? Jangankan para siswa, mungkin pertanyaan yang sama bisa juga ditujukan kepada para seluruh staf pengajar di Kabupaten ini. Kita belum mendapatkan ‘jejak literasi’ yang menawan dari para guru di sini.

Setahun yang lalu, saya membaca di salah satu media daring perihal ‘kiprah Pemuda Muhammadiah” di Mabar yang digadang-gadang sebagai ‘perintis hidupnya kultur literasi’ itu. Penilaian itu dilontarkan ke ruang publik presis setelah acara “Bedah Buku” berjudul ‘Selamat Datang di Manggarai Barat’ karya dua penulis muda, Syamsudin Kadir dan Muhammad Achyar di Hotel Pelangi (2/11/2019), digelar.

Saya kira ‘acara bedah buku’ yang bersifat momental itu, tidak bisa menjadi indikator bahwa ‘kelompok yang memfasilitasi pelaksanaan kegiatan itu, langsung dibaptis sebagai pionir dan penggerak tradisi berliterasi di sini. Literasi tidak bisa direduksi maknanya hanya sebatas ‘kemampuan’ mengorganisir acara bedah buku, diskusi, dan seminar.

Kampanye dan aksi konkret untuk menghidupkan ‘budaya baca-tulis’ belum menjadi program bersama yang digodok dan diimplemantasikan secara sistematis, massif, dan terukur. Tegasnya, kegiatan yang bernuansa intelektual, masih stagnan di Mabar. Kondisi spirit berliterasi kita, boleh dibilang ‘hidup enggan mati tak mau’. Kita hanya menerapkan apa yang menjadi kegiatan rutin di sekolah dan di rumah. Literasi belum menjadi ‘satu agenda spesial’ yang mendapat porsi perhatian yang lebih.

Di tengah latar kegersangan berliterasi itu, kehadiran Media Pendidikan Cakrawala (MPC) di beberapa sekolah di Mabar, boleh dilihat sebagai semacam ‘oase’ yang bisa merimbunkan tunas literasi tersebut. Para awak media ini dengan ‘Gusty Richarno’ sebagai ‘dirigennya coba ‘menyuntikan dan menularkan’ virus literasi itu kepada para guru dan terutama kepada para siswa, generasi muda Mabar. SMAN I Komodo, SMAN 2 Komodo, dan SMAN I Lembor adalah beberapa ‘komunitas akademik’ yang mendapat urapan roh berliterasi dari kru MPC itu.

Respons mereka setelah mengikuti ‘ritual berliterasi sederhana’ itu, setidaknya dari apa yang mereka unggah di media sosial, memperlihatkan ‘api optimisme’ yang bakal terang benderang dalam jagat pendidikan kita perihal proyek revitalisme budaya literasi di Kabupaten ini. Mereka semua mengamini bahwa para siswa mempunya ‘potensi yang besar’ untuk menumbuhkan dunia literasi itu. Melalui sentuhan kreatif kru MPC, para pendamping (para guru di ketiga sekolah itu) sudah memiliki ‘cukup amunisi’ untuk segera ‘membuka lahan literasi” dan merawat secara telaten benih literasi yang sudah bersemayam dalam dada para kawula muda kita.

Namun, nasib dari ‘komunitas literasi’ kategorial semacam itu, agak mengenaskan ketika badai pandemi Covid-19 ‘menerjang’ publik global. Kita tidak lagi mendengar atau membaca soal serangkaian aktivitas literasi yang diprakarsai oleh komunitas semacam itu.

Kita berharap percikan api literasi yang terpancar di beberapa sekolah itu, bisa menyebar dan membias di panti pendidikan dan komunitas sosial yang lain, sehingga ‘kultur literasi’ menjadi kebutuhan rohaniah yang menyegarkan kepribadian para insan muda kita.

Sudah saatnya kita bangkit dari ‘tidur panjang kemalasan menggauli aktivitas literasi’ demi menyambut generasi Mabar yang berwajah optimistis dan kompetitif di hari esok. Fokus pemerintahan Jokowi pada periode kedua ini adalah membangun sumberdaya manusia handal dan kompeten. Literasi adalah kunci dan peta jalan menuju terwujudnya politik demografi yang bermutu. Prediksi soal ‘hadirnya periode bonus demografi’ mesti memacu kita untuk mengencangkan ‘sabuk literasi’ agar tidak tersingkir dalam era yang diwarnai dengan pertarungan skill itu. Literasi adalah jembatan keselamatan sehingga kita tidak ‘terhempas’ dalam badai pertarungan itu.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.