Oleh : Sil Joni *)

Debat antara pasangan calon (paslon) merupakan salah satu ‘tahapan’ dalam seluruh rangkaian pelaksanaan sebuah kontestasi politik seperti Pilkada. Kendati ‘debat kandidat’ ini tak bisa dijadikan parameter absolut untuk menilai kecakapan intelektual dan politis dari paslon, tetapi setidaknya dalam dan melalui acara debat itu publik bisa mengetahui ‘kapabilitas berpikir’ dari para calon tersebut.

Selain itu, publik mendapat ruang dan peluang untuk ‘menilai’ tingkat kemasukakalan dan bobot dari kontrak politik (baca: visi, misi, dan program) dari masing-masing paslon. Dengan itu, pemilih mempunyai alasan yang rasional untuk menjatuhkan preferensi politik. Bukan tidak mungkin, ada voters yang ‘berbalik haluan’ pasca menonton debat ini.

Debat paslon untuk Pilkada Mabar 2020, sudah digelar hari ini, Selasa (9/12/2020). Empat paslon berpartisipasi aktif dalam debat yang dimoderatori oleh Fransiskus Jalong, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada (UGM).

Saya coba memberikan semacam ‘penilaian kritis’ terhadap jalannya perdebatan, khususnya performa para debaters. Itu berarti penampilan moderator dan hal-hal teknis dalam ruang debat, tidak mendapat sorotan. Benar bahwa kedua unsur itu juga bisa memengaruhi mutu performa para debaters, tetapi saya lebih tertarik membahas isu yang lebih substansial dalam debat itu.

Pertama nian, kita perlu mengapresiasi ‘kesungguhan’ para paslon dalam mengerahkan potensi adu gagasan dalam ruang perdebatan ini. Secara umum saya menilai debat ini berlangsung elegan dan enak ditonton. Masing-masing Paslon berusaha mengelaborasi, menganalisis, mempresentasikan dan merespons argumen lawan debat dengan taktis, santun, dan berwibawa.

Meskipun demikian, tentu ada paslon yang tampil optimal dan ada yang biasa-biasa saja. Harus diakui bahwa debat ini bersifat formal, bukan debat kusir. Karena itu, substansi (materi), penalaran, pemaparan, metode menjawab dan menanggapi argumen lawan serta gaya berbicara harus mencerminkan situasi debat yang resmi tersebut. Keprimaan performa para paslon sangat bergantung pada ‘keseriusan mereka’ dalam mempersiapkan diri untuk tampil dalam forum debat resmi semacam ini.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perdebatan ini tidak bersifat individual. Peserta debat terdiri dari dua orang (calon bupati dan wakil bupati) dalam satu tim. Untuk itu, sedapat mungkin dalam satu ‘tim debat’, kita tidak boleh bersikap egois dengan memonopoli pembicaraan. Kita tidak sedang ‘memamerkan kehebatan individual’ saja, tetapi juga pementasan kolaborasi argumentasi yang sudah dibangun sekian lama dalam mengemban amanat sebagai ‘duet pemimpin politik’ di daerah ini.

Secara teoritis, ada tiga aspek penilaian utama yang bisa dijadikan acuan bagi masyarakat untuk melakukan penilaian terhadap debat kandidat yang diikuti keempat pasangan calon (paslon) tersebut. Pertama adalah matter. Hal ini berkaitan dengan materi atau substansi. Komponen yang dinilai dari aspek ini adalah mulai dari kemampuan kandidat memaparkan permasalahan, mengemukakan pernyataan dan pendapat.

Pada poin ini masyarakat harus melihat apakah pendapat yang disampaikan kandidat logis atau tidak, relevan atau tidak dengan materi, pernyataannya harus disertai bukti dan fakta atau tidak. Intinya pendapat yang keluar harus valid.

Kedua adalah manner. Hal ini berkaitan dengan sikap kandidat saat menyampaikan materi dan pendapat. Pada aspek ini, masyarakat bisa melihat sikap kandidat dalam hal pengaturan volume suara, pengaturan nafas, tekanan suara, artikulasi. Juga sikap kandidat dalam penggunaan bahasa yang dipakai, seperti kefasihan, keakuratan tata bahasa, gaya bahasa, hingga diksi dan pemilihan kata.

Unsur lain yang dilihat adalah pandangan mata saat selama debat, bahasa tubuh (body language) kandidat, pembaawan diri, tidak boleh menghina, tidak boleh mengejek, hingga penggunaan catatan atau contekan saat debat. Jika kandidat melanggar tata tertib debat, maka penilaian pada aspek ini akan berkurang.

Aspek matter dan manner ini, dalam setiap pelaksanaan debat, bobot nilainya cukup besar hingga mencapai 80 persen, masing-masing 40 persen dari aspek penilaian keseluruhan. Sedangkan 20 persen lagi dari aspek penilaian yang ketiga, yakni method.

Aspek method ini berkaitan dengan cara penyampaian materi, substansi dan pendapat oleh masing-masing kandidat. Komponen penilaiannya dilihat dari cara penyampaian gagasan, penggunaan waktu bicara, dan menyampaikan jawaban penolakan atau bantahan saat debat.

Penolakan dan bantahan boleh dilakukan, namun tetap harus membatasi diri pada etika, norma dan tata tertib debat. Respect terhadap ‘argumen lawan’ debat merupakan hal yang tidak boleh diabaikan. Hindari gestukulasi, mimik, dan pernyataan yang bersifat meremehkan ‘lawan debat’.

Mengacu pada ‘tiga komponen penilaian’ di atas, kita bisa memberikan ‘skor obyektif’ terhadap empat paslon yang tampil dalam acara debat itu. Kalau kita menonton dan menyimak jalannya perdebatan itu, dengan bantuan tiga kriterium tadi, maka relatif mudah untuk menentukan paslon mana yang ‘unggul’ atau tampil optimal dalam debat itu.

*) Penulis, pemerhati masalah sosial dan politik. Tinggal di Manggarai Barat.