LABUAN BAJO, metro7.co.id – “Uang saya hilang. Tiga ratus ribu. Tiga hari lalu. Saya simpan dalam bungkus rokok surya. Saya simpan di bawah kepala. Saya tidur. Dulu saya tidak mau datang ke sini. Tapi mereka yang bawa saya ke sini. Saya waktu itu nggak ada tujuan mau ke Labuan Bajo. Kota ini banyak maling,” ketus pria malang bersuara parau itu. Berikut kisahnya.

Senin (2/11/2020) malam sekitar pukul 19.00 Wita. Arus lalu lintas kendaraan roda empat dan roda dua di Jalan Sernaru terpantau ramai. Lampu penerangan jalan tampak terang benderang.

Warung sate kambing di kawasan RT 12, Jalan Sernaru Nomor 3, Desa Wae Kelambu-Labuan Bajo padat pengunjung. Warung sate itu terletak tidak jauh dari Kantor Dinas Pendidikan, Pemudah dan olahraga (PKO) Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Wartawan metro7.co.id yang melintas di jalan itu serentak berhenti di depan warung sate. Pasalnya, tepat di depan warung sate itu tampak seorang bapak tua sedang duduk di tengah emperan trotoar persis di depan warung sate.

Pria tua itu berpakaian lusuh. Compang-camping. Kepalalanya tertutup topi loreng mirip topi TNI AD. Kumisnya memutih. Kulit tubuhnya berkerut.

Di sekelilingnya terdapat tumpukan kardus, potongan sink, piring plastik warnah merah jambu. Di samping tumpukan kardus bekas, ada karung berisi plastik kantung. Di belakang bapak tua itu, ada pula tumpukan botol air mineral dan plastik kantung yang tergantung di emperan trotoar.

Sepintas, tempat itu tampak seperti tumpukan sampah. Bising kendaraan yang hilir mudik di sampingnya tak dihiraukannya. Trotoar itu adalah rumahnya.

Penasaran melihat kondisi bapak tua itu, kami pun mencari tahu siapa orang tua yang berpakaian lusuh itu. Awalnya kami menduga dia Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Bukannya memberi sedekah kepada orang miskin. Malah mencopet si miskin tua ini. Informasi ini kami peroleh dari pemilik warung sate yang sedang sibuk melayani pengunjunganya.

“Dua hari belakangan ini, bapak itu tidak ke mana-mana karena uangnya hilang dicuri orang,” kata pemilik warung.

Menaruh iba padanya, kami memesan satu porsi nasi sate buat lelaki renta itu. Kami pun menghampirinya. Duduk di trotoar itu bersama bapak tua. Kami membujuknya supaya mencuci tangan sebelum makan. Setelah cuci tangan, bapak tua enggan makan. Dia malah mengajak kami ngobrol. Belum ditanya, bapak tua itu berkisah tentang uangnya dicuri maling.

“Uang saya hilang. Tiga ratus ribu. Tiga hari lalu. Saya simpan dalam bungkus rokok surya. Saya simpan di bawah kepala. Saya tidur. Kota ini banyak maling,” ujarnya membuka percakapan.

Bapak tua ini mengisahkan bahwa dia berasal dari Bali. Ia mengaku lahir pada zaman penjajahan Belanda. Sebelum tinggal di Labuan Bajo, ia pernah tinggal di Ruteng.

“Nama saya Subagia Hadiwijaya. Umur saya 100 tahun,” akunya sambil tertawa. Saya dari Bali, Denpasar. Lahir saya tahun 1920 zaman Belanda. Barangkali anak tidak percaya.

Istri saya namanya Ilohanlentri. Dipanggil Lentri. Besar, tinggi. Pernah lewat di pertamina. Dia jual bensin. Istri saya waktu hamil gugur terus. Saya nggak pernah ke rumah. Sebelum jam dua saya bangun ikut mobil truk. Coba ngga gugur, pasti udah punya anak. Udah tiga kali kawin. Ini yang keempat kalau tercapai. Masih cari calon,” ujarnya sambil tersenyum.

Keluarga saya jauh. Tinggal di Terang. Namanya Sensilius orang Manggarai. Saya tinggal lama di sini. Lama. Lebih 20 tahun. Di sini terus. Dari datang sampai sekarang. Kenal sama Jempo? Saya ada di sini kenal dia. Bapanya meninggal. Kemudian mamanya meninggal belakangan. Begitu. Mulai kenal sama mereka dengan mama Linda waktu di Ruteng. Mereka kasih makan. Mereka yang bawa ke Labuan Bajo.

Dulu saya tidak mau datang ke sini. Tapi mereka yang bawa saya ke sini. Saya waktu itu nggak ada tujuan mau ke Labuan Bajo.

Kenal Frangky? Dia yang bawa saya ke sini. Kakaknya punya truk. Merknya Mitra Usaha kendaraannya di Ruteng. Saya pernah ditato sama Yos yang ngatur mobil itu.

Sebenarnya banyak kerja. Saya dulu kerja bangunan. Plester itu. Tapi saya takut jatuh. Gemetar tangan saya.

Saya pernah jatuh dari pohon kelapa. Kaki saya keseleo. Makanya kaki saya seperti ini. Saya pernah luka kena sabit. Luka,” tutur bapak tua yang pikun itu

Ibu Erni, warga RT 12, Sernaru menjelaskan, dia mengenal bapak tua sejak lama.

“Dulu dia tinggal di komplek kecamatan. Dulu dia sering pakai sepeda ke sini. Kami biasa panggil dia Mas Thomas. Dia tidak tahu keluarganya di mana,” ujar Ibu Erni kepada Wartawan.

Menurut dia, orang tua itu oràng baìk. Tidak mengganggu orang lain. Warga setempat sangat iba pada Mas Thomas. Beri dia makan. Beri uang.

“Orang sini rasa sosialnya tinggi. Kadang kasi makan. Ada oma Tedi di sebelah beri dia tempat tinggal. Tapi dia nyenyel. Tidak mau diatur. Pipis sembarang, BAB sembarang. Kita kan ingin jaga kesehatan. Mungkin karena usianya. Makanya dia tinggal di sini. Tapi dia orang baik. Tidak bikin menyusahkan orang lain,” tutur ibu Erni. *(Robert Perkasa)