Oleh : Sil Joni *)

Polemik seputar ‘tafsiran hukum’ atas bunyi pasal dalam undang-undang pilkada yang dioperasionalkan dalam peraturan KPU tentang frase perbuatan tercela cukup heboh saat ini. Publik disuguhi elaborasi dan kajian hukum dari para ‘pencinta hukum’ yang diartikulasikan secara kreatif dalam ruang publik. Perang argumentasi dan penalaran pun tak terhindarkan lagi.

Namun, sayangnya polemik itu cenderung menjurus ke perdebatan brutal yang semakin jauh dari substansi persoalan. Argumentasi yang menukik ke pokok soal (obyek diskursus), termarginalisasi secara tragis. Justru narasi dan argumentasi yang bersifat menyerang ‘pribadi lawan debat’ (argumentum ad hominem) memenuhi ruang publik saat ini. Ad hominem adalah sebuah frase bahasa Latin yang berarti “tertuju pada pribadi atau karakter seseorang”. Itu berarti, argumentum ad hominem, adalah upaya untuk menyerang kebenaran suatu klaim dengan menunjuk sifat negatif orang yang mendukung klaim tersebut. Penalaran ad hominem biasanya dipandang sebagai kesesatan logika.

Para debater tampak inkonsisten dalam mempertahankan penalaran hukumnya. Pokok soal (tafsiran aplikatif dan implikatif bunyi pasal undang-undang dan peraturan KPU) ditinggalkan. Energi diskursus mereka terarah pada penggeledahan motif subyektif di balik narasi yang disebarkan dalam media sosial.

Mereka begitu sensitif dan emosional dengan ‘diksi provokatif’ yang digunakan lawan debat dalam merespons interpretasi hukum mereka. Ungkapan seperti gagal paham, menyesatkan, oknum pengacara, belajar hukum lagi, gagal produk hukum dan sebagainya seolah menjadi ‘esensi’ dalam perdebatan ini. Efeknya adalah substansi persoalan semakin blur dan kabur, sebab ekspresi emosional kian subur.

Kita tidak tahu apa sebenarnya yang sedang diperbincangkan oleh para pendebat ini. Apakah mereka sedang ‘memamerkan’ agresivitas menyerang pribadi orang atau berniat membantu publik untuk lebih memahami duduk persoalan (status quetionis) tentang tafsiran yang obyektif sebuah formula hukum?

Saya menangkap kesan bahwa polemik ini masih bermain pada isu yang artifisial dan sensional. Substratum permasalahan menjadi mengambang atau menggantung. Kita lebih ‘terpesona’ untuk memperkarakan diksi dan motif terselubung orang dalam mengelaborasi sebuah isu hukum.

Karena itu, saya mulai curiga jangan-jangan para pendebat ini ingin mencari popularitas dan afirmasi dari publik pembaca semata. Artinya, tesis-tesis hukum yang mereka kemukakan tidak dilatari oleh intensi ‘pemanifestasian misi pencerahan hukum’ tetapi sekadar merias diri agar ‘kepakarannya’ diakui oleh orang lain.

Hal ini terlihat dari indikasi menguatnya klaim kebenaran yang bersifat absolut. Mereka begitu yakin dan percaya diri bahwa ‘tafsirannya’ yang paling benar. Opini yang berseberangan dengan interpretasi itu dicap sebagai ‘yang menyesatkan, gagal paham, gagal produk hukum dan karena itu mesti belajar hukum lagi. Ada semacam ‘arogansi berwacana’ tentang problem hukum di sini.

Saya berpikir, jika kajian kita bersifat objektif dan murni untuk menambah perspektif hukum bagi publik, maka sudah seharusnya kita fokus pada isu semula. Argumentasi hukum yang objektif itu mesti dibedah secara konsisten. Tidak perlu terpancing untuk meladeni hal-hal bersifat sensasional. Pernyataan-pernyatan yang bersifat menyerang pribadi orang tak boleh diumbar secara berlebihan.

Untuk itu, kita perlu mengingatkan media untuk lebih selektif dalam menyajikan informasi kepada publik. Proposisi provokatif yang belepotan emosi dan diucapkan secara spontan (tanpa kesadaran penuh) dari para pendebat itu, kalau dapat tidak boleh dijadikan ‘tema berita’. Pernyataan spontan semacam itu, dalam banyak kasus, hanya tambahan saja dalam sebuah sesi konferensi pers. Itu hanya bumbu penyedap dalam pertemuan itu.

Jurnalisme damai dan menyejukkan mungkin menjadi sebuah imperasi etis bagi para juru warta di musim kontestasi Pilkada ini. Dengan Ini, ruang publik kita tidak hanya disesaki oleh isu-isu dangkal dan emosional, tetapi juga disemaraki dengan gagasan yang berdampak pada peningkatan cakrawala pemahaman publik tentang kasus yang bersentuhan dengan dimensi kebaikan bersama.

Kita berharap agar para pendebat itu bisa tampil lebih elegan dan berkualifikasi intelektual dalam mempercakapkan soal hukum dalam ruang publik. Porsi pengutamaan argumentum ad rem (berkaitan dengan pokok soal) mesti jauh lebih dominan ketimbang argumentum ad hominem. Mereka mesti mengembalikan marwah perdebatan ke model diskursus publik yang lebih saintifik dan berbobot.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.