Oleh : Ismail Tiger Law

Viralnya peristiwa pemukulan anak di bawah umur yang dilakukan oknum Perwira Polisi berpangkat AKBP yang terjadi di Kota Pangkalpinang menarik untuk kita kaji dan cermati dari sudut pandang Undang-Undang.

Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan Undang-Undang yang berbentuk Lex Spealis dan memberikan perlindungan secara khusus kepada anak.

Menurut Undang-Undang, pengertian seorang anak, yakni merupakan seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, seperti yang tertera dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan anak.

Anak, yaitu karunia dan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang pada dirinya telah dilekatkan sebagai manusia harkat dan martabat yang seutuhnya.

Semua anak yang lahir ke dunia ini mempunyai harkat dan martabat yang wajib dijunjung tinggi oleh pemerintah atau siapapun, apalagi oknum penegak hukum yang melakukan pemukulan kepada anak yang berumur 9 tahun, sejatinya memahami sebuah aturan atau Undang-Undang dan setiap hak-hak anak harus diberikan tanpa anak diminta oleh anak itu sebelumnya.

Di dalam deklarasi Jenewa mengenai Hak-Hak Asasi Anak (The Geneva Declaration Of The Rights Of The Child) merupakan dokumen internasional pertama yang menjadikan laki-laki dan perempuan dari segala bangsa menerima kewajiban yang menuntut, bahwa anak-anak harus diberikan sarana yang perlu untuk perkembangan yang normal, baik secara materi maupun spiritual.

Dalam perkembangan di akhir decade 1980-an, Kovensi Hak Anak (International Convention on the Rights of the Child) mengintrodusir adanya empat hak yang dimiliki oleh anak, yakni hak untuk hidup (survival rights), hak anak untuk mendapatkan perlindungan (protection rights), hak anak untuk tumbuh dan berkembang (development rights) dan hak anak untuk ikut berpartisipasi (participation rights).

Konvensi ini kemudian diratifikasi Indonesia melalui keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, kewajiban dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak tersebut sebenarnya telah diwujudkan dan dituangkan sejak dalam konstitusi, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia dan dituangkan dalam pasal 28A sampai dengan pasal 28J.

Sedangkan tentang hak anak diatur dalam pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa “setiap anak memiliki hak atas kelangsungan hidupnya, tumbuh maupun berkembang serta mempunyai hak atas perlindungan dari kekerasan maupun diskriminasi yang diterima oleh anak”.

Selain itu, anak diberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan anak, yaitu agar anak tersebut mendapat perlindungan dan hakhaknya sebagai anak juga dilindungi yaitu hak untuk hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta perlindungan hukum diberikan agar mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang akan menimpa anak.

Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban juga diatur dalam Pasal 76A sampai dengan 76J yang isinya mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang apabila dilakukan oleh orang ataupun kelompok kepada anak akan dipidana penjara dan denda seperti didalam Pasal 77 sampai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian yang otentik tentang apa yang dimaksudkan dengan kekerasan.

Hanya dalam pasal 89 disebutkan bahwa yang disamakan dengan melakukan kekerasan itu, membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).

Pada penjelasan pasal 89 KUHP dijelaskan bahwa: Melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya. Yang disamakan dengan kekerasan menurut pasal ini adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya.

Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun emosi.

Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker, maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak, Ibu dan bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya.

Anak adalah harapan bangsa di masa mendatang, hak-hak yang harus diperoleh anak terhadap orang tuanya sejak anak dilahirkan di dunia yang berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan hukum terhadap anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Tindak kekerasan terhadap anak yang di lakukan oleh oknum perwira Kepolisian ini merupakan permasalahan yang cukup serius, karena mempunyai dampak negatif pada dimensi dan spektrum yang luas, yang serius, baik bagi korban maupun lingkungan sosialnya.

Peristiwa pemukulan anak di bawah oleh oknum anggota Polri pertaruhkan wajah penegak hukum menjadi dilematis ketika yang melakukan tindakan kekerasan kepada anak ini adalah Penegak Hukum.