Oleh : Sil Joni *)

Posisi sebagai wakil bupati, biasanya tak pernah menjadi bahan perbincangan serius di kala seseorang sedang menjalani jabatan semacam itu. Publik tak terlalu peduli dengan ‘kiprah wakil bupati’ dalam setiap skema pengambilan dan pelaksanaan kebijakan publik di Mabar ini. Faktnya, kinerja dan performa ‘bupati’ yang selalu mendapat sorotan yang serius.

Tetapi, biasanya ‘jabatan wakil bupati’ itu sangat ramai diperdebatkan ketika musim kontestasi tiba. Terlebih ketika ‘sang wakil’ itu berpisah dengan bupati dan berusaha ‘naik kelas’ untuk menjadi calon bupati (cabup). Mereka yang pernah menjadi ‘wakil bupati di Mabar’, terbukti mencalonkan diri sebagai bupati pada periode berikutnya.

Sebelum menjadi ‘bupati Mabar’ dua periode, Agustinus Ch. Dulla pernah menjadi wakil bupati berpasangan dengan W.F. Pranda. Maksimus Gasa yang pernah menjadi wakil bupati berduet dengan bupati Dulla, juga pernah mencalonkan diri sebagai bupati pada periode berikutnya, meski pada akhirnya gagal. Yang terakhir, Maria Geong yang sebelumnya menjadi wakil bupati berduet dengan Gusti Dulla, kini dalam kontestasi Pilkada Mabar 2020, sudah resmi ditetapkan sebagai salah satu cabup Mabar.

Jabatan sebagai ‘wakil bupati’ dianggap bernilai strategis untuk ‘beranjak’ ke posisi yang relatif lebih prestisius yaitu, ‘bupati’. Wakil bupati hanya sebagai ‘batu loncatan’. Sebetulnya, meraih titel sebagai ‘bupati’ menjadi obsesi utama. Karena itu, kita belum pernah mendengar atau membaca di mana seorang ‘wakil bupati’ enggan untuk ‘bertarung’ merebut ‘kursi nomor satu’ di level Kabupaten.

Tentu, ada semacam keuntungan politik ketika ‘wakil bupati’ maju sebagai calon bupati pada periode berikutnya. Setidaknya, sang wakil sudah ‘memiliki kapital politik’ yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan kandidat lainnya. Status sebagai ‘kandidat petahana’ bisa menjadi garansi dalam mendulang suara signifikan dalam kontestasi Pilkada.

Konten atau materi kampanye politik umumnya ‘bernada optimis’, lanjutkan apa yang pernah ditorehkan ketika sang wakil itu berkuasa. Menarik bahwa ‘keberhasilan’ dari rejim itu pasti diakui dan diklaim sebagai ‘prestasi politik’ bersama antara bupati dan wakil bupati. Sang wakil dan mungkin para pedagang politik akan menjadikan kisah ‘keberhasilan’ itu sebagai komoditas politik pada musim kampanye.

Tetapi, ketika ada penilaian yang bersifat evaluasi kritis terhadap kinerja ‘wakil bupati’, maka dengan taktis dan tangkas sang wakil dan para calo politik menjadikan ‘posisi wakil bupati’ itu sebagai alibi. Posisi sebagai wakil dianggap kurang menguntungkan untuk memperlihatkan performa politik yang mengkilat.

Pelbagai narasi yang bersifat ‘defensif’ coba dibentangkan untuk menjustifikasi dan merasionalisasi ‘kelemahan politik’ dari sang wakil itu. Para pendukung fanatiknya pasti ‘membela mati-matian’ bahwa potensi sang wakil itu tidak bisa dioptimalisasi sebab ‘wakil tak memiliki’ power politik yang dominan. Wakil bupati bukan sebagai ‘penentu kebijakan’. Beliau hanya bertindak sebatas ‘mengusulkan’ atau memberikan saran.

Kita memaklumi saja dan menerima sebagai suatu kebenaran ketika wakil bupati ‘hanya berdiam diri’, tak memberikan andil politik yang besar bagi keberhasilan pelaksanaan aneka proyek kesejahteraan publik selama dirinya berada dalam struktur kekuasaan itu. Kita menanggap sebagai sebuah kewajaran ketika ‘wakil bupati’ tak memberikan kontribusi politik yang signifikan dalam membangun Mabar ini. Wakil bupati tak bertanggung jawab atas pelbagai kegagalan yang diperlihatkan oleh rejim ini sebab dia hanya sebagai ‘wakil’, bukan bupati.

Lalu, tiba-tiba muncul sebuah keyakinan yang benada optimistis bahwa ‘wakil bupati’ adalah sosok hebat untuk membangun Mabar ini. Dari mana datangnya asumsi semacam itu? Apakah hanya berdasarkan reputasi akademik, jabatan karier, dan atribut fisik lainnya? Apakah sisi ‘rekam jejak kiprah dan debut politik’ selama wakil bupati ‘tidak diperhitungkan’?

Saya berpikir untuk membangun diskursus publik yang berkualitas soal ‘eksistensi’ dan kontribusi wakil bupati selama berada dalam pemerintahan, kita mesti tanggalkan semua prasangka dan interes politik partisan dan pragmatis. Kita coba melihat secara obyektif perihal ‘peran yang semestinya’ diperlihatkan oleh wakil bupati.

Pertama nian, wakil bupati itu bukan ‘jabatan terpisah’ dengan bupati. Bupati dan wakil bupati adalah ‘satu paket’. Karena itu, tidak ada visi, misi, dan program khusus dari ‘wakil bupati’. Keduanya bekerja sama dalam mendesain dan mengeksekusi kebijakan berdasarkan ‘kontrak politik’ yang mereka tawarkan kepada publik selama masa kontestasi demokrasi elektoral.

Ketika ‘paket itu’ gagal dalam menerjemahkan kontrak politik dalam ranah praksis, maka wakil bupati ‘tidak bisa cuci tangan’ bahwa itu menjadi tanggung jawab bupati semata. Wakil bupati seharusnya ‘memperlihatkan’ potensi atau kapasitasnya secara proaktif melalui diskusi dan kolaborasi yang positif dengan bupati. Posisi sebagai wakil bupati itu sebenarnya cukup ideal dan strategis untuk menunjukan komitmen dan keberpihakan pada kepentingan publik.

Ketika wakil bupati hanya bertindak sebagai ‘pemberi usul-saran’, apa bedanya dengan kelompok masyarakat sipil? Melalui ‘wewenang politik yang dimilikinya’, wakil bupati bisa saja ‘menekan’ bahkan bentrok dengan bupati jika kebijakan yang ditelurkan itu merugikan kepentingan publik. Publik memilih ‘paket bupati-wakil bupati’, bukan bupati saja. Itu berarti keduanya ‘tidak bisa dipisahkan’. Mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Wakil bupati tidak bisa melemparkan ‘kesalahan’ kepada bupati jika dia tidak mempunyai ruang yang luas untuk memanifestasikan kecakapan politiknya.

Polemik seputar ‘kiprah wakil bupati’ dalam pemerintahan kita, bisa menjadi positive input bagi paslon yang berlaga dalam kontestasi ini. Poinnya adalah wakil bupati itu bukan sebagai ‘ban serep’ atau pemain cadangan dalam lapangan politik. Publik tak pernah memilih seseorang untuk sekadar menjadi ‘pemain figuran/cadangan’ dalam domain kepemerintahan.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.