Oleh: Kadarisman, Presidium Mejelis Daerah KAHMI Tabalong

Debat calon presiden (capres) sejatinya tidak memengaruhi signifikan perubahan pemilih kecuali sedikit saja. Tujuan debat itu tidak untuk menyandingkan siapa yang lebih baik programnya. Namun yang sejati untuk mengelaborasi kematangan kafasitas dan kualitas emosional dan unsur psikologis lainnya dalam diri calon pemimpin itu sendiri.

Konsep program apa pun yang hendak dilakukan dapat dibuat sangat rapi dan baik oleh tim yang berada di belakang layar. Konsep itu kemudian dapat dihafalkan agar dalam penyampaian tampil memesona. Semuanya itu bisa dicitrakan sesuai desain apa yang hendak ditampikan. Namun yang tak sepeuhnya bisa dimanipulasi adalah bawaan bawah sadar (subconscious mind) calon pemimpin.

Dalam kondisi yang spontan ditambah kejutan-kejutan dinamika di pangung debat capres pasti akan mencuatkan karakter asli. Dalam kondisi terdesak misalnya, kematangan psikologis seseorang akan sangat mudah dicupture. Orang yang memiliki tingkat determinasi rendah akan sangat mudah memunculkan orisinalitas diri terdalamnya.

Dampaknya adalah karakter yang dibangun atas dasar pencitraan semata mudah goyah dan rusak karenanya. Bangunan citra yang hendak dipoles akan buyar karena desakkan bawaan bawah sadar. Pada akhirnya orang akan menunjukkan dirinya yang sejati ketika di panggung yang penuh dinamika dimana seseorang kehilangan kendali.

Panggung debat capres merupakan konteks pangung politik kenegaraan. Siapapun yang masuk ke arena itu mesti melepaskan dirinya dari perasaan subjektif sempit. Apalagi bagi calon-calon pemimpin yang mengisi panggung itu mesti mampu mengeluarkan kekuatan terbaiknya dan melepaskan diri dari merasa berjasa atau merasa berhutang budi di luar konteks itu.

Merasa pernah berjasa di masa lalu atau merasa pernah berhutang budi di masa silam dapat memarginalkan persoalan kenegaraan yang harusnya dapat disampaikan secara lugas dan tegas. Tak boleh seorang calon pemimpin menumpulkan ketajaman pikirannya hanya karena pernah bersama di luar panggung debat capres.

Pun demikian mengungkit jasa baik masa lalu di panggung debat capres dapat mendegradasi kafasitas kenegarawanan seseorang. Hubungan emosional masa lalu dan probelam hubungan pribadi di masa sebelumnya tidak boleh dibawa ke konteks debat capres, karena akan mengeyampingkan diskursus soal kebangsaan. Bahasan kebangsaan dan kenegaraan harus menjadi bahasan utama yang tak boleh dihalangi dan disesatkan oleh apapun di luar konteks itu.

Siapapun capres tidak boleh menumpulkan ketajaman intelektualitasnya hanya gara-gara pernah bersama-sama di masa sebelumnya. Demikian juga tak boleh dari capres-capres itu menurunkan kualitas kenegarawananya dengan menangkis setiap persilangan pandangan hanya gara-gara pernah merasa berjasa dalam urusan mengurus negara.

Jika itu terjadi dan terus terjadi, maka debat capres yang diselenggarakan KPU RI itu kehilangan ruh dan harapan public. Harusnya meraka dapat mempertengkarkan pemikiran, memberikan pertanyaan dan jawaban yang sangat tajam, tidak boleh menjebakkan diri pada romansa yang dapat mengundang baper.

Pemimpin negara dan pemerintahan akan datang tidak boleh baperan atas persilangan pendapat dan kritisme tajam, karena bisa menjadi ancaman bagi rakyatnya. Pemimpin yang baperan bisa membuatnya terjebak pada kesalahan dalam menggunakan alat-alat keamanan negara menjadi alat kekuasaan. Pada akhirnya rakyat sangat rentan menjadi korban.

Dalam konteks demokrasi dan urusan membicarakan kenegaraan, seorang negarawan mesti mampu membebaskan dirinya dari persoalan sempit. Jika tidak maka negara akan dijalankan oleh kekuasaan yang tidak adil bagi siapa saja yang berbeda pandangan.

Bernegara tidak boleh baper, karena baper dalam kekuasaan bisa membahayakan kehidupan demokrasi dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara.*