Oleh : La Ode Abd Muh Havidl

Selaku pemegang palu perubahan, pernah tidak kalian berfikir bahwa satu KETUKAN yang kalian lakukan itu bagi kami adalah KUTUKAN? Pernah kah kalian berfikir bahwa ketukan palu dari kalian dapat merobek kepercayaan rakyat? Mungkin kalian tak paham apa yang kami nikmati saat ini, tapi kami selalu tertindas oleh penikaman kalian melalui kebijakan irasional.

Indonesia merupakan Negara yang Merdeka atas keterlibatan semua pihak, yang diperkuat oleh proklamasi kemerdekaan dengan penuh komitmen dan gagasan. Namun, pernahkah Bapak dan Ibu Terhormat di Senayan paham tentang hal itu. Buktinya, dengan berbagai macam aksi Demonstrasi yang dilakukan oleh Rakyat untuk melawan dalam menggalkan RUU CIPTAKER (OMNIBUS LAW) beberapa bulan lalu, adalah bentuk ultimatum bahwa pengkajian rakyat terhadap RUU Tersebut tidaklah efektif dalam menerka hak kemerdekaan pekerja. Lantas bagaimana dengan penundaan beberapa bulan oleh kalian dan kini telah disah-kan lewat konsenus yang tidak sejalan dengan dua partai politik.

Sekretaris F-Demokrat DPR RI Marwan Cik Asan sempat menolak. Berdasarkan argumentasi tersebut, Fraksi Demokrat menolak RUU Cipta Kerja, kami nilai banyak hal yang perlu dibahas secara komprehensif, utuh dengan melibatkan semua ‘stakeholder’ agar tidak berat sebelah dan tercipta lapangan kerja. (Sumber: Tirto.id).

Hal terkesan bahwa, headline rapat paripurna tidak berdasarkan kesepakatan paripurna (Lengkap). Bagaimana tidak, penyataan Fraksi Demokrat sangat paham tentang minimnya keberpihakan RUU tersebut pada implementasi rakyat secara linear.

Patut dan perlu disadari, timbulnya gerakan aksi oleh rakyat secara nasional, menandai devisit keberpihakan negara dalam menyentuh kesuburan masyarakat secara alamiah. Misalkan yang kemudian tertuang dalam beberapa poin. Pasal satu diantaranya adalah penghapusan terhadap Gaji UMK. Pekerja dipergunakan berdasarkan jam yang ditentukan dan banyak lagi dengan poin cuti bagi pekerja yang bertolak belakang.

Apakah Demokrasi kita hanya sebatas representasi di Senayan yang juga menjadi nilai minus dalam mengembangkan potensi keadilan dan kesejahteraan. Dari pelosok negeri, kaum ploretariat mendesak soal pekerjaan dan upah, namun para TKA masuk secara terang-terangan bagaikan tanpa bersalah.

Bagaimana mungkin, tenaga dan alam kami iklaskan kepada kebijakan yang tidak pro kepada masyarakat secara menyeluruh. Jikalau prinsip problematika tidak pernah dijamah oleh yang berdasi dan berwarna.

Siapa Otak dan untuk siapa kebijakan ini dibuat kalau bukan sepenuhnya menyentuh kepentingan baik pada masyarakat. Namun yang terkesan bahwa Pengesahan RUU OMNIBUS LAW menjadi UU pertanda bahwa DPR bukan lagi representasi rakyat, melainkan representasi sekelompok otak untuk sekelompok kepentingan.