Penulis: Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNISMA.

Hari raya Idul Fitri, sebuah perayaan yang melambangkan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, tidak hanya menjadi momen kegembiraan tetapi juga kesempatan emas untuk memperbaharui hati dan mempererat silaturahmi.

Saat menjelang hari raya, tradisi mudik dan silaturahmi menjadi inti dari perayaan hari besar kemenangan ini. Dengan tujuan mengingatkan pada pentingnya menjaga hubungan dengan keluarga, sahabat, dan kerabat.

Perayaan hari raya Idul Fitri bukanlah tentang kemenangan atas rasa lapar dan dahaga semata, juga bukan hanya tentang kembali suci, melainkan kemenangan batin yang lebih dalam. Dengan mengendalikan hawa nafsu dan memperkuat ikatan sosial.

Kita dapat memanfaatkan kesucian tersebut untuk menjadi pribadi yang lebih baik, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi masyarakat luas.

Setelah sebulan penuh berpuasa, umat Islam dihadapkan pada kesempatan momentum untuk mempererat silaturahmi dan memperbaharui diri, sebagaimana bayi yang baru lahir kembali pada fitrahnya.

Allah SWT berfirman dalam surah Al-A’la ayat 4-15 yang artinya “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sholat”.

Hari raya Idul Fitri menjadi lebih dari sekadar tradisi; ia menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan masa lalu, saat ini, dan masa depan yang lebih baik. Sebuah momen untuk introspeksi dan transformasi diri, serta memperkuat hubungan antar manusia dalam semangat persaudaraan dan kedamaian. Muhammad Quraish Shihab dalam buku “Membumikan Al-Qur’an” menekankan bahwa energi kembali ke fitri mendorong kita untuk mengembalikan jiwa pada kesucian.

Salah satu kisah sahabat Nabi terkait dengan Idul Fitri adalah kisah Abdullah bin Umar. Dalam kisah tersebut, Abdullah bin Umar selalu berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan dan melakukan ibadah dengan penuh kesungguhan. Namun, pada malam hari menjelang Idul Fitri, ia mengalami keraguan apakah puasanya diterima atau tidak.

Ketika malam Idul Fitri tiba, seringkali hati ini dihinggapi oleh rasa keraguan. Keraguan tersebut bukanlah tanda dari kelemahan, melainkan sebuah simbolisasi dari aspirasi yang mendalam untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri. Setiap keraguan yang muncul seolah menjadi cahaya yang menuntun pada jalan kebaikan.

Dengan momen tersebut menjadi kesempatan untuk merenung dan mengevaluasi perjalanan yang telah dilewati, sekaligus menetapkan niat untuk melakukan perubahan positif.

Dalam kisah sahabat Nabi lainnya, kita belajar tentang keutamaan memaafkan dan memperbaharui hubungan persaudaraan. Cerita yang mengisahkan seorang sahabat Nabi yang dikenal sebagai Abu Ayyub Al-Anshari. Dimana pada saat hari raya Idul Fitri, Abu Ayyub merasa sangat malu untuk berjabat tangan dengan sahabat Salman Al-Farisi, akibat perselisihan yang terjadi antara mereka sebelumnya.

Namun, Nabi Muhammad SAW menyaksikan situasi tersebut dan memberikan nasihat yang berharga. Beliau menegaskan bahwa Idul Fitri merupakan momen yang ideal untuk saling memaafkan dan mengikat kembali simpul persaudaraan. Nabi Muhammad mendorong Abu Ayyub untuk segera memohon maaf kepada Salman Al-Farisi dan memulihkan persahabatan mereka.

Lebaran bukan hanya tentang perayaan, tetapi juga tentang transformasi diri dan hubungan sosial. Ini adalah waktu untuk memperbaharui komitmen kita terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan. Dengan memperbaharui hati dan mempererat silaturahmi, kita tidak hanya memperkuat ikatan sosial tetapi juga memperkaya jiwa kita sendiri.

Mari kita sambut Idul Fitri tahun ini dengan hati yang lebih terbuka, pikiran yang lebih luas, dan semangat yang lebih besar untuk menjadi umat yang lebih peduli dan empati terhadap sesama. Karena pada hakikatnya, Idul Fitri adalah momentum bagi kita semua untuk memperbaharui hati dan mempererat silaturahmi.