Oleh: Sil Joni*

Artikel ini merupakan refleksi lanjutan soal fakta banyaknya para sarjana yang tak mencapai angka standar (passing grade) dalam mengikuti tes calon pengawai negeri sipil (CPNS) dalam 3 tahun terakhir. Pertama-tama, harus diakui bahwa kita tidak bisa menilai ‘mutu kesarjanaan’ hanya berdasrakan hasil tes semacam itu. Namun, tentu tidak salah juga jika kenyataan seperti itu menjadi ‘bahan permenungan’ tentang kiprah para sarjana di tengah masyarakat.

Secara leksikal (KBBI) kata sarjana memiliki dua arti. Pertama, diartikan sebagai orang yang pandai. Kedua, kata itu dihubungkan dengan “gelar akademik” (strata satu) yang disabet dari sebuah institusi PT yang legal-formal.

Definisi leksikal ini, hemat saya masih terlalu “sempit” untuk menangkap kandungan substansial dari “predikat kesarjanaan” tersebut. Jika “term sarjana” hanya mengacu pada gelar akademik formal, maka ada kemungkinan kita “menutup diri” terhadap aneka perspektif. Kita hanya puas dengan “keunggulan akademik” dari disiplin ilmu yang kita tekuni.

Karena itu, saya kira, tak salah juga jika kita coba “melebarkan” pengertian kata ini. Bahwasannya, sarjana tidak hanya berhubungan dengan ‘gelar semata, kendati hal ini tak bisa dinafikan begitu saja. Sarjana, suka tidak suka adalah “pribadi yang berwawasan luas” (knowledgeable) dan terampil dalam banyak hal.

Tesis saya adalah Negara (baca: para penyusun soal test CPNS) mungkin memakai asumsi ini dalam “menyusun soal” test tersebut. Sudah tertanam anggapan bahwa para sarjana adalah kumpulan persona dengan wawasan dan keterampilan yang mumpuni, manusia yang tidak “terkurung” dalam cangkang keilmuan yang spesifik.

Tidak heran jika “model dan jenis” soal tak sesuai dengan basic ilmu yang kita geluti. Negara, saya kira tidak hanya menguji “kualitas legalitas kesarjanaan”, tetapi esensialitas yang ditagih dari kata itu. Like or dislike kita perlu mengubah paradigma berpikir kita. Secara legal-formal, kita sudah menyandang predikat itu. Negara tidak perlu mengujinya lagi. Tetapi, negara coba ‘melangkah’ lebih jauh, apakah wawasan kesarjanaan kita hanya terbatas pada urusan gelar?

Atas dasar itu, sekali lagi, saya tidak terlalu terperanjat dengan setiap “hasil test CPNS”, di mana mayoritas “sarjana” tak mencapai angka standar (passing grade). Mengapa? Umumnya, kita masih “terjebak” dalam pola pikir positivisme, bahwa saya sarjana untuk “satu bidang ilmu”.

Jika hipotesis ini benar, maka rasanya, jika mutu output proses pembelajaran dalam kesarjanaan mengalami penurunan. Sekali lagi, tidak tanpa alasan kalau kami mengatakan “mutu kesarjanaan kian melorot”, jika berkaca pada hasil test CPNS. Tak ada yang bantah bahwa test CPNS tak bisa menjadi barometer absolut dalam mengukur kualifikasi kesarjanaan.

Kami tidak sedang “menghakimi’ predikat sarjana dalam arti sempit di atas. Fokus kami adalah sarjana dalam pengertian yang esensial, yang lebih dari sekadar gelar. Saya teringat almarhum Romo Y.B. Mangun Wijaya kala merenungkan pertanyaan ini. Rohaniwan Katolik ini pernah menyampaikan pandangannya tetang “siapakah profesor yang sesungguhnya”?

Baginya, profesor yang sesungguhnya adalah bukan mereka yang telah “meraih titel akademik” dengan segudang karya ilmiah, tetapi para petani yang produktif, yang telah “menghasilkan” sesuatu yang berguna bagi kehidupan konkret publik.

Tanpa bermaksud “mengkultuskan” gagasan di atas, saya kira baiklah kalau batasan tentang sarjana menggunakan logika yang sama. Ide revolusioner Romo Mangun ini tentu tidak harus “diterima” sebagai kebenaran mutlak.

Kesarjanaan saya “digugat” ketika titik tolaknya adalah karya kreatif yang berkontribusi bagi kemaslahatan publik. Ketika saya mengantongi ijazah sarjana, tidak serta-merta saya masuk dalam barisan “sarjana yang sesungguhnya” kalau berkaca pada pendapat Romo Mangun ini.

Karena itu, saya “belum puas” ketika selembar sertifikat akademik sudah digenggam. Saya mesti “mempertanggungjawabkan” gelar itu dengan karya nyata. Persis pada titik inilah, saya merasa “kesarjanaan saya” belum selesai dan seberapa.

Ketika saat ini kita ramai ‘memperbincangkan’ perihal mutu kesarjanaan kala mengikuti tes CPNS, saya kira, hal itu sangat wajar. Sudah selayaknya “kualitas kesarjanaan” kita terus digugat, termasuk ketika “bertempur” dengan soal ujian untuk menjadi ASN, walau hal itu tak bisa menjadi barometer absolut. Setidaknya, kita masih menyadari bahwa “status kesarjanaan” belum selesai.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.