Oleh : Sil Joni *)

Berbicara di depan publik bagi seorang calon pemimpin politik seperti calon bupati atau calon wakil bupati merupakan sebuah kemestian. Ketika seseorang merasa ‘layak’ untuk dipilih oleh publik, kemampuan berbicara adalah sarana pertama dan utama. Bagaimana mungkin individu itu berhasil meyakinkan ‘wajib pilih’ jika dia kesulitan membahasakan apa yang menjadi tugas, peran, dan kewenangannya ketika mendapat legitimasi publik sebagai pemimpin politik?

Bagi saya, pembicaraan tentang integritas, kapabilitas intelektual dan kecakapan leadership mungkin terlampau mewah, ketika hal elementer seperti kecerdasan komunikatif kurang diperhatikan. Benar bahwa ‘kualitas’ seseorang tidak dideterminasi oleh elemen kecakapan berbahasa semata, tetapi setidaknya publik mempunyai akses untuk mengetahui kualitas itu dalam dan melaui kemampuan berbicara tersebut.

Keprihatinan saya ini berangkat dari asumsi dasar bahwa para kandidat pemimpin politik itu sudah melewati tahap pematangan dan kaderisasi baik melaui jalur pendidikan formal, pengalaman berorganisasi, maupun sederetan ‘profesi prestisius’ yang pernah diemban sebelumnya. Mereka direkrut dan dipilih karena dianggap mempunyai ‘kehebatan’ dalam memengaruhi kehidupan banyak orang.

Karena itu, idealnya mereka tidak lagi terlihat ‘demam panggung’ dan gagap ketika tampil di depan forum yang bersifat formal. Podium, mimbar, dan panggung adalah wilayah yang begitu familiar dan relatif mudah untuk ‘ditaklukan’. Mereka sudah menghabiskan ‘ribuan jam’ untuk tampil berbicara di depan publik dalam perjalanan karier politik tersebut. Semestinya, semua paslon itu berkualifikasi ‘singa mimbar’.

Namun, dalam debat kandidat bupati-wakil bupati Mabar, Selasa (1/12/2020), tak bisa dibohongi bahwa masih ada calon tampil agak ‘menggigil’ di depan podium. Performa mereka masih jauh dari ekspektasi publik. Mereka ‘gagal’ memanfaatkan momentum itu untuk ‘mendongkrak’ nilai jual dalam pasar politik yang tinggal beberapa hari lagi ditutup.

Kendati demikian, saya berpikir performa yang buruk itu sama sekali ‘tidak menyurutkan’ arus dukungan dari para supporter fanatik mereka. Indikasi tidak tergerusnya fanatisme itu bisa dibaca dalam setiap argumentasi pembelaan para pendukung terhadap paslon pujaan mereka. Kesalahan yang diperlihatkan paslon dalam debat itu, meski bersifat fatal, mereka tetap mengaguminya sebagai ‘figur politik’ yang layak menahkodai Kabupaten Pariwisata Super premium ini.

Saya sangat yakin, ketika kita diminta untuk memilih antara figur yang demam panggung dan menjadi ‘singa podium’, maka responsnya tak pernah lari jauh dari pilihan sebelumnya. Yang terlanjur ‘menjagokan sosok’ demam panggung, tetap memilih figur itu dan sebaliknya. Rupa-rupa alasan pembenaran akan dikemukakan agar posisi itu terkesan rasional.

Atas dasar itu, bukan tidak mungkin paslon yang ‘demam panggung’ akan tampil sebagai kampium kontestasi Pilkada. Mengapa? Penampilan dalam debat itu tak dijadikan ‘barometer’ untuk menilai ‘kualitas figur’. Publik konstituen mempunyai ‘logika spesial’ untuk menilai sosok politik favoritnya. Demam panggung hanya dilihat sebagai ‘human error’ yang bersifat sesaat. Kesalahan yang manusiawsi tidak merepresentasikan ‘ketakcakapan figur’ dalam memimpin Mabar.

Rasanya, panorama di panggung depan (the front stage) bukan sebuah problem politis yang serius. Kita lebih tertarik ‘mengintip’ pemandangan di panggung belakang, tempat di mana kita merasa ‘lebih dekat’ secara emosional dengan figur itu. Ketika sisi emosionalitas dikredit, maka penjelasan yang ‘super canggih’ tak sanggup mengubah pilihan politik. Fakta bahwa figur itu demam panggung, akan segera ‘dimaklumi’ tatkala elemen ‘kedekatan’ di bagian belakang menjadi acuan penilaian.

Dengan demikian, kepiawaian dalam ‘berdebat’ dan berbicara di depan publik tidak menjadi garansi ‘naiknya elektabilitas’ dari paslon itu. Figur yang berpredikat sebagai ‘singa mimbar’ boleh jadi akan mengalami nasib yang kurang beruntung dalam kompetisi politik Pilkada ini.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.