Oleh : Sil Joni *)

Buku teks sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah formal dipenuhi dengan narasi (kisah) tentang ‘para pahlawan bangsa’ yang bertarung habis-habisan dalam memperjuangkan dan membela ‘kemerdekaan’ negara kita. Pahlawan selalu diasosiasikan dengan ‘pejuang’ yang meregang nyawa di medan tempur (perang). Para pemberani semacam itu dipuja sebagai ‘sosok’ heroik yang kontribusinya terhadap kemerdekaan bangsa ini, tak diragukan lagi.

Hari Pahlawan yang kita peringati setiap tanggal 10 November tentu saja bersentuhan dengan ‘penghargaan dan penghormatan’ terhadap jasa para pahlawan yang ‘mati di arena perang’ itu. Kita diajak untuk ‘jedah sejenak’ guna mendoakan arwah mereka dan sekaligus merefleksikan aksi nyata sebagai bentuk konkret penghargaan terhadap perjuangan para pahlawan nasional tersebut.

Namun, dalam perkembangannya, kata pahlawan itu mengalami perluasan dan bahkan pergeseran makna. Pahlawan, tidak lagi hanya diasosiasikan dengan mereka yang ‘berjuang’ bertaruh nyawa di medan tempur. Spirit heroisme itu telah menyebar kepada siapa saja yang punya ‘keberanian’ dan komitmen untuk berkorban dan berjuang menegakan kebenaran dan keadilan.

Secara leksikal (pengertian menurut kamus), pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pahlawan juga diartikan sebagai ‘pejuang’ yang gagah berani. Jadi, pahlawan tidak lagi menjadi predikat eksklusif bagai ‘para prajurit’ yang gugur di medan tempur.

Tidak heran jika generasi milenial memiliki konsep tersendiri mengenai sosok seorang pahlawan. Lain zaman, lain pula kisahnya. Cerita tentang pahlawan nasional misalnya, tidak sepenuhnya ‘berdaya magis” bagi generasi milenial. Kelompok ini mempunyai gambaran tersendiri tentang apa dan siapa sosok pahlawan dalam hidup mereka.

Tentang persepsi “pahlawan” dari generasi milenial, Harian Kompas (5/11/18), hlm. 1 menulis: “Relung imajinasi kaum milenial kini lebih banyak dijejali oleh sosok pahlawan super ketimbang pahlawan nasional. Tidak heran jika mereka memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya”.

Generasi milenial kesulitan “menyebut” apalagi ‘meneladani’ nilai heroisme dari sederetan nama pahlawan nasional sebagaiamana yang lazimnya kita pelajari dalam “buku teks” sejarah bangsa kita. Sebagian “kaum muda” kita, lebih akrab dengan figur pahlawan yang dikenal luas lewat media atau sosok pribadi super ciptaan industri hiburan.

Tentu ini menjadi ‘tantangan bagi guru (sejarah) untuk” menyebarkan narasi kepahlawanan yang otentik dan atraktif. Kisah tentang “kisah hidup plus nilai-nilai” yang diperjuangkan oleh para pahlawan nasional mesti selaras dengan semagat zaman generasi milenial kita.

Perubahan persepsi dan gambaran kepahlawanan dalam kalangan generasi milenial menjadi ‘peringatan’ bahwa nilai-nilai heroisme itu perlu dikisahkan dan dijabarkan dalam kehidupan nyata. Semangat kepahlawanan seperti keberanian, pengorbanan, keuletan, pantang menyerah, kerja keras, disiplin, dan tegas pada prinsip mesti mewujud dalam perilaku para pemimpin dan elit di negeri.

Hari Pahlawan 10 November, dengan demikian tidak sekadar ‘memperingati’ kisah pertempuran rakyat Surabaya melawan tentara Inggris pada tahun 1945, tetapi sebagai mometum penyadaran dan pemanifestasian spirit heroisme dalam laku keseharian kita. Mentalitas sebagai seorang pahlawan itulah yang mesti kita wariskan secara kreatif dan produktif kepada generasi muda saat ini.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.