Oleh : Sil Joni *)

Di tengah kekhusukan ‘mencerap’ makna peringatan Hari Pahlawan, (10 November) muncul kabar (yang sudah diprediksi) bahwa upaya kasasi Paslon Misi terhadap KPUD Mabar di tingkat Mahkamah Agung (MA), ditolak. Padahal, ada yang berteriak lantang di media bahwa KPUD dianggap ‘dungu’ dalam menegakan norma undang-undang Pilkada.

Putusan MA itu, saya kira bisa menjawab tudingan yang brutal dari pihak tertentu soal ‘kedunguan KPUD Mabar’. Jika kita mengamini bahwa MA mempunyai otoritas yang legitimate untuk ‘menentukan substansi kebenaran hukum’, maka sudah jelas bahwa KPUD Mabar terbukti berada pada jalur yang benar. Sebaliknya, mereka yang mengklaim diri sebagai ‘pakar hukum’ itu, untuk sementara ‘tersesat’ dalam argumentasi hukum yang dikonstruksi menurut asumsi subyektif.

Sebetulnya, upaya paslon Misi dalam ‘memperkarakan’ keputusan KPUD itu, patut kita dukung dan apresiasi. Tetapi, ketika ada pihak yang dengan ‘angkuh’ menuduh KPUD ‘dungu’, maka keberanian atau lebih tepat kenekatan semacam itu, perlu dicurigai. Bagaimana mungkin kita menuduh pihak penyelenggara sebagai ‘pihak yang bebal’ sementara faktanya setiap upaya gugatan itu selalu ditolak.

Berbeda dalam ‘menafsir’ sebuah persoalan hukum itu ‘hak’ yang dijamin oleh konstitusi. Tetapi, perbedaan pandangan tidak bisa dijadikan basis untuk ‘menghakimi’ pihak lain sebagai pihak yang dungu. Jangan berpura-pura tampil sebagai ‘pahlawan hukum’ hanya dengan mengandalkan ‘keyakinan subyektif’ semata.

Boleh jadi, individu yang berteriak lantang tentang ‘kebenaran dan kepastian hukum’ dipuja sebagai ‘pahlawan’ oleh para pendukung dari paslon penggugat. Setidaknya, kelompok itu sudah memperlihatkan keberanian dan pengorbanan tanpa lelah, selaras dengan spirit heroisme yang kita junjung tinggi selama ini. Mengapa? Secara leksikal (pengertian menurut kamus), pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pahlawan juga diartikan sebagai ‘pejuang’ yang gagah berani. Jadi, pahlawan tidak lagi menjadi predikat eksklusif bagi ‘para prajurit’ yang gugur di medan tempur.

Namun, seorang pahlawan juga tidak cukup hanya berhamba pada ‘nafsu bertarung semata’. Seorang pahlawan mesti ditopang oleh sikap rendah hati dan realistis. Mengakui kelebihan dan kekurangan diri sendiri juga merupakan salah satu karakter pahlawan yang mesti dirawat. Apa artinya kita bersikap seolah-olah pahlawan, padahal hasil perjuangannya ‘nol bulat?

Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat bukan hadiah dari kelompok atau pribadi tertentu. Indonesia juga bukan sebuah entitas yang ‘jatuh begitu saja’ dan langsung jadi. Sebaliknya, negara kepulauan ini merupakan kristalisasi dan resultante dari sebuah perjuangan yang penuh air mata dan berdarah-darah dari para pendahulu kita. Mereka berani mengorbankan ‘segalanya’ termasuk nyawa untuk membentuk sebuah bangsa yang independen.

Mereka yang telah berjasa tersebut memang layak mendapat gelar sebagai pahlawan nasional. Sulit memikirkan bagaimana ‘nasib bangsa’ ini, seandainya tidak ada manusia Indonesia yang bermental pahlawan dan patriotik. Boleh jadi nama Indonesia atau lebih tepat wajah nusantara tidak bisa tampil elok dan elegan seperti sekarang ini.

Karena itu, saya kira seruan untuk menghargai dan mengenang jasa para pahlawan tersebut, bukan hanya masuk akal, tetapi menjadi sebuah keharusan. Presiden pertama kita, Ir. Soekarno dengan penuh semangat membakar api heroisme yang terekspresi dalam satu ungkapan terkenal: ‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghormati jasa para pahlawannya”. Dalam bahasa yang lebih sederhana ‘bangsa ini akan menjadi besar jika kita berani meneruskan cita-cita bangsa melalui pengembangan aneka potensi secara kreatif dan produktif’. Spirit kepahlawanan itu mesti terinkarnasi dalam pola laku kita sebagai satu bangsa yang bermartabat.

Namun, tak bisa dihindari bahwa roh kepahlawanan itu mulai memudar dalam praksis bernegara kita. Maraknya aksi radikalisme, terorisme, dan intoleransi akhir-akhir ini, bisa menjadi sinyal bahwa nilai patriotisme dan heroisme kebangsaan sudah meredup. Ada kelompok atau oknum yang ‘pura-pura’ mengklaim diri sebagai pahlawan untuk kelompok kepentingan yang bersifat parsial dan cenderung intoleran terhadap eksistensi dari yang lain.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.