Oleh : Sil Joni *)

Manusia adalah makhluk solider, bukan soliter. Solidaritas itu terekspresi dalam actus yang terarah kepada yang lain (intensional). Manusia keluar dari “cangkang egonya” untuk menjumpai sesamanya. Makna eksistensi kemanusiaan kita diracik dalam dan melalui yang lain.

Kunjungan persaudaraan (visitasi fraternal) merupakan manifestasi paling praktis dimensi sosialitas tersebut. Kita mengayunkan langkah guna mewartakan kabar baik (good news) kepada yang lain. Tentu “bayi kehidupan” yang ada dalam kandungan orang lain akan melonjak kegirangan. Jadi, actus mengunjungi, walau terkesan sederhana, ternyata mengalirkan energi hidup (elan vital) bagi yang lain.

Tindakan mengunjungi, hemat saya mesti dilandasi oleh rasa cinta yang tulus. Salah satu karakter primer dari cinta adalah memberi. Pemberian yang paripurna adalah diri kita sendiri melalui kesediaan berbagi dan berbela rasa (compasio) dengan sesama.

Namun, actus kunjungan di musim politik, apalagi ‘menjelang’ momen pencoblosan di bilik suara, perlu ‘dicurigai’. Umumnya, orisinalitas makna kunjungan mengalami erosi yang dasyat dalam setiam musim kompetisi politik seperti Pilkada. Bukan tidak mungkin, kunjungan yang otentik berganti dengan kunjungan yang hipokrisif dan manipulatif.

Kunjungan ke kampung-kampung yang rutin dibuat oleh para kandidat bupati-wakil bupati beserta tim suksesnya dilatari oleh motivasi dan kalkulasi politis yang sempit dan picik. Motif kunjungan tersebut adalah do ut des (saya berkunjung, saya mendapat untung). Ada “udang politik” di balik “batu kunjungaa” yang berserakan itu.

Rakyat dijadikan obyek pelampiasan nafsu untuk berkuasa. Mereka “memburu” suara rakyat secara manipulatif dan distortif. Publik dihargai hanya sebatas angka politik matematis. Nasib warga biasanya, tetap mengenaskan pasca hajatan demokrasi elektoral itu digelar. Para penguasa kembali ke watak mereka yang asli, yaitu “berpesta pora” di atas lautan derita warga.

Karena itu, kita perlu “mencium bau kepalsuan” dalam setiap safari dan visitasi politik para kandidat dan para calo (broker) politik baik dalam dunia maya, maupun dalam dunia nyata. Kunjungan para elit politik tidak pernah netral atau sepi dari pamrih pribadi. Selalu ada “laba politik” fantastis yang dikejar. Hermeneutika kecurigaan tidak hanya relevan, tetapi sangat urgen diimplementasikan saat ini. Dengan demikian, publik tidak lagi menjadi tumbal dan bulan-bulanan aksi licik para politisi busuk.

Kita semua tahu bahwa tinggal menghitung detik, publik konstituen di Mabar akan menggunakan ‘hak suaranya’ secara bebas dan bermartabat. Intensitas dan frekuensi kunjungan dari para pedagang politik, kemungkinan akan semakin tinggi jelang pencoblosan. Dalam kunjungan itu, boleh jadi tidak banyak retorika kampanye yang disampaikan. Senjata ‘politik pemberian’ (baca: politik uang) bisa menjadi pilihan yang efektif untuk ‘memengaruhi’ orang yang dikunjungi itu.

Tentu, kita berharap agar publik Mabar ‘tidak mudah tergiur’ dengan tawaran politik uang itu. Pemberian menjelang fajar menyingsing atau yang populer disebut ‘serangan fajar’ merupakan ekspresi ‘kurang ajar’ yang tidak elok untuk diterapkan. Semoga para calo politik tidak tergoda untuk ‘membeli suara’ konstituen dengan segepok uang.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik.