Oleh Happy Hendrawan, S.Sos. M.Sc (Wakil Ketua Bid. Sosial PWNU Kalbar)

Dalam tiga hari belakangan ini publik digemparkan dengan ada berita tindak asusila yang dilakukan oleh oknum kepolisian (lantas) terhadap anak di bawah umur, terlepas bagaimana kasus tindak asusila tersebut bisa terjadi. Sementara kasus-kasus prostiusi anak yang terjadi
sejak Juli – Agustus belum lagi jelas bagaimana prosesnya. Belum lagi kasus oknum jaksa terhadap anak adopsinya yang masih belita, hingga hari ini tidak jelas jejaknya.

Tentu saja kasus ini mengusik keprihatinan masyarakat yang memandang bahwa kasus-kasus tersebut bisa jadi baru merupakan puncak gunung es. Tidak saja di kota Pontianak, tetapi bisa jadi untuk Kalimantan Barat. Tidak masalah jika rasa keprihatinan masyarakat ini kemudian diistilahkan oleh seorang aktivis sebagai batang timbul. Faktanya kasus anak semakin hari semakin meningkat. Sehingga penangannya pun tidak bisa parsial terlebih lagi jika menjadi
klaim sebagai wilayah kerja lembaga tertentu saja. Tetapi harus bahu membahu semua elemen masyarakat.

Pertanyaannya, apakah pernyataan bahwa Pontianak (Kalbar) Darurat Anak terkesan bombastis dan tendensius? Hal ini dapat dibaca dari data yang ada dari KPPAD Kalimantan Barat dan Dinas terkait dimasing-masing Kabupaten/Kota jika dapat diakses dan atau di laporkan secara regular ke public. Faktanya, jangankan untuk publik, untuk internal pemerintahan daerah saja kemungkinan tidak tersaji data yang valid karena berpotensi dipandang sebagai aib dan atau kegagalan dalam penanganan persoalan anak. Tentu ada pengecualian dan tidak semua kabupaten/kota seperti itu. Mungkin.

Sebatas data yang dapat diakses barulah dari KPPAD, yang menunjukan trend meningkat dengan kasus terbesar pada tindakan kekerasan seksual dan fisik. Berdasarkan data nasional yang bersumber SIMFONI PPA (Kemenppa.go.id) per 1 Januari – 19 Juni 2020 tercatat ada sebanyak 3.087 kasus dengan rincian 852 kekerasan fisik, 768 psikis dan 1.848 kekerasan seksual. Sementara untuk Kalimantan Barat, sepanjang yang dapat diakses dari release KPPAD kepada media (google.com) sepanjang Januari – juni 2020 ada 186 kasus dimana kekerasan fisik dan seksual menjadi kasus dominan. Secara terperinnci pada bulan Januari 36 kasus, Februari
34 kasus, Maret-April 63 kasus, Mei 21 kasus, dan Juni 32 kasus. Sementara penanganan (meski lambat) masih belum menyasar pada para predator.

Lalu bagaimana Kota Pontianak, who knows? Namun paling tidak, sepanjang Juli – September 2020 penulis terlibat dalam kasus prostitusi anak yang melibatkan belasan anak yang terlibat baik sebagai korban maupuan pelaku. Meskipun pelaku sebagian besar sudah masuk usia dewasa (dalam kisaran usia 18 tahun ke atas). Memang tidak semua anak-anak yang terlibat adalah warga Kota Pontianak, tetapi fakta bahwa lokus nya ada di Pontianak.

Lalu bagaimana hal ini bisa terjadi di kota yang berstatus Kota Layak Anak dan bahkan pada hari Anak Nasional 2020, Kalimantan Barat mendapat anugerah penghargaan KPAI. Suatu kondisi yang kontradiksi tentunya. Secara instrument, Kota Pontianak sebagai barometer penanganan dan perlindungan anak di Kalimantan Barat menjadi yang terlengkap. Bagaimana tidak, Kota Pontianak telah ada Kader Pendamping Anak yang masing-masing berjumlah 3 orang disetiap kecamatan dan kelurahan yang dibentuk pada tahun 2017. Kemudian berdasarkan SK Walikota no 19 bulan Januari 2020 telah dibentuk Gugus Tugas dan Agen Perubahan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kota Pontianak dengan jumlah personil 8 orang. Pertanyaannya adalah apakah instrument tersebut sudah difungsikan atau belum, jika sudah difungsikan apakah hasil kinerja mereka dijadikan acuan penanganan atau tidak.

Kemudian apakah ini semata-mata menjadi sebuah kesalahan pemerintah daerah (kota)?. Setidaknya menjadi tanggungjawab bersama secara kolektif warga kota (Kalimantan Barat) walau pengendali utama tentu pemerintah. Terlebih dengan perkembangan mutkahir menunjukan persoalan anak pada masalah jauh lebih kompleks dengan banyak variable penyebab. Dimana revolusi tehnologi informasi telah membalikan konsep pola asuh dan pendidikan anak, baik lingkup keluarga maupun lingkungan sosial. Dunia menjadi tidak terbatas pada ruang dan waktu, sementara sebagian besar keluarga masih belum mampu keluar dari konsep pola asuh, pendidikan, dan pengawasan anak yang konvensional. Bahkan ikut larut dalam gelombang revolusi media komunikasi. Sehingga pada akhirnya masing-masing –anak dan orangtua- teralienasi dari kehidupan yang semestinya dalam relasi dan interaksi sebuah keluarga dan social.

Oleh karena itu perlu adaptasi baru terkait dengan kebijakan, strategi implementasi dan sistem penanganan masalah anak. Kasus-kasus kekerasan (eksploitasi) anak tidak bisa lagi semata-mata dipandang sebagai kenakalan semata. Sebab pengalaman penulis terlibat pendampingan kasus prostitusi anak bersama KPPAD dan stakeholder lain, menunjukan betapa rapi, sistematis
dan canggihnya mereka berkerja. Meski bukan hal yang sangat sulit bagi aparat penegak hukum mestinya memburu para predator. Oleh karena menjadi tanggungjawab kita bersama dengan
pemerintah dan APH sebagai ujung tombak dalam menikapi dan penanganannya. Sebab kondisi anak dan bagaimana kita memperlakukan anak adalah cerminan bagaimana sebuah bangsa akan bergerak pada periode berikutnya. Karena itu, anak merupakan generasi yang tak ternilai dalam bagaimana kita membangun peradaba kedepan. Lalu dengan kasus yang bertubi-tubi ini, kita mau dan bisa apa ? Mari kita bersama-sama mengatasinya dengan tetap mengawal kasus yang sedang berproses agar tidak menguap. *